MAKALAH
KURIKULUM DAN BUKU TEKS PPKn
PERBANDINGAN PPKn ERA SOEKARNO DENGAN PPKn ERA SOEHARTO
Dosen Pengampu: 1. Drs. Tijan, M.Si
2. At Sugeng Priyanto, M.Si
3. Andi Suhardiyanto, S.Pd M.Si
Disusun oleh :
DANI PRASETYO (3301414104)
JURUSAN POLITIK DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2015
A. PENDAHULUAN
Sejak tahun 1945 sampai sekarang, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan beberapa kali. Perubahan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi tiga kurun waktu, yaitu: (1) Kurun waktu 1945 – 1968 (tahun 1947, 1952, 1964, 1968); (2) Kurun waktu 1968-1999 (tahun 1975, 1984,1994); (3) Kurun waktu 1968-1999 (tahun 2004, 2006, 2013).
PPKn yang seekarag ini ternyata sudah ada di Indonesia dari dahulu tepatnya pada era Presiden Soekarno tetapi namanya belum PPKn. Istilah civics dan civics education telah muncul pada tahun 1957, dengan istilah Kewarganegaraan, Civics pada tahun 1961 dan pendidikan Kewargaan negara pada tahun 1968. (Bunyamin dan Sapriya dalam Civicus, 2005:320). Mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan masuk dalam kurikulum sekolah pada tahun 1968, namun pada tahun 1975 nama pendidikan kewarganegaraan berubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Pada tahun 1994, PMP berubah kembali menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). (http://hamiddarmadi.blogspot.com)
Menilik kebelakang mengenai materi pokok buku pembelajaran PMP dan PPKn berasal dari atas (rezim yang sedang berkuasa), bukan dari kehendak masyarakat pendidikan (arus bawah). Konsekuensinya nilai-nilai yang menjadi meteri pembelajaran pun cenderung distortif dan jauh dari aspirasi ilmiah (keilmuan). Untuk lebih jelasnya akan di uraikan di bawah mengenai perbedaan PPKn di Indonesia khususnya pada era Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto.
B. TUJUAN KURIKULUM
Komponen tujuan adalah yang berhubungan dengan arah atau hasil yang diharapkan. Tujuan kurikulum erat kaitannya dengan filsafat atau sistem nilai yang dianut masyarakat. Tujuan menggambarkan sesuatu yang dicita-citakan masyarakat. Seperti halnya masyarakat Indonesia menganut sistem nilai pancasila, maka tujuan yang diharapkan tercapai oleh suatu kurikulum adalah terbentuknya masyarakat yang pancasilais.
Pada masa kepemimpinan bung Karno, pemerintahannya menginginkan pembentukan masyarakat sosialis Indonesia. Untuk itu, tujuan pendidikan disesuaikan dengan tujuan negara. Walau bagaimanapun, hal ini dianggap penting karena dengan adanya penyesuaian tujuan pendidikan dengan tujuan pemerintah atau negara, maka menjadi jelaslah arah pelaksanaan pendidikan pada suatu negara. Para pengajar, pelajar melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya walaupun serba terbatas.
Sosialisme Indonesia yang dijalankan oleh pemerintah, di tingkatan kebijakan, sampai penerapannya di lingkungan pendidikan formal, SMP, SMA, dan perguruan tinggi,merupakan salah satu cara mensejalankan tujuan pendidikan dengan tujuan negara. Pemerintah membuat suatu kurikulum yang sesuai dengan tujuan tersebut, dan lahirlah mata pelajaran Ilmu Kewargaan Negara atau Civics, yang diajarkan di tingkat SMP danSMA. Sosialisme Indonesia merupakan salah satu materi dalam mata pelajaran tersebut. Pendidikan sosialisme Indonesia didapat melewati akal dan pengalaman empiris.
Soekarno, presiden pertama Indonesia membawa semangat “nation and character building” dalam pendidikan Indonesia. Di seluruh pelosok tanah air didirikan sekolah, dan anak-anak dicari untuk disekolahkan tanpa dibayar. Untuk meningkatkan kualitas guru, didirikan pendidikan guru yang diberi nama KPK-PKB, SG 2 tahun, SGA/KPG, kursus B-1 dan kursus B-2. (Rianti Nugroho, 2008:15-16.)
Tentang pendidikan nasional dapat dilacak dalam undang-undang nomor 4 tahun 1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran disekolah (lembaran Negara tahun 1950 nomor 550), yang pelaksanaannya ditegaskan dalam UU no.12 th.1954, tentang pernyataan berlakunya UU no.4 th.1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah untuk seluruh Indonesia (lembaran Negaratahun 1954 nomor 38. Tambahan lembaran Negara nomor 550).
Tujuan dan dasar pendidikan pada orde Lama dapat dilihat pada pasal 3 dan 4. Pasal 3:“ Tujuan pendidikan dan pengajaran adalah membentuk manusia susila yang cakap danwarga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air ”Pasal 4: “Pendidikan dan pengajaran berdasar atas asas-asas yang termaktub dalam Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia dan atas kebudayaan kebangsaan Indonesia”.( http://bakripasca.blogspot.com)
Kebijakan pendidikan saat itu dilakukan secara sentralistik, bahwa kebijakan pendidikan di masa ini diarahkan kepada proses indoktrinasi dan menolak segala unsur budaya yang datangnya dari luar. Dengan demikian pendidikan bukan untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyat, bukan untuk kebutuhan pasar melainkan untuk orientasi politik. Indroktrinasi pendidikan mulai dari jenjang sekolah dasar sampai pendidikan tinggi diarahkan untuk pengembangan sikapmiliterisme yang militan sesuai dengan tuntutan kehidupan di suasana perang dingin pada saat itu.
Berbeda dengan tujuan pendidikan nasional selama orde baru ialah bagaimana pendidikan nasional mampu melahirkan manusia-manusia pembangunan, memiliki karakter diantaranya adalah:sehat jasmani dan rohani,memiliki pengetahuan dan keterampilan,sikap demokrasi dan penuh dengan tenggang rasa,cerdas,berbudi pekerti yang luhur, bekerja keras,inovatif dan kreatif,berkepribadian,dll.
Selama periode orde baru, pendidikan sebagai instrumen pembentukan karakter warga negara menampakan wujudnya dalam standarisasi karakter warga negara. Standarisasi itu mencerminkan civic virtues (kebijakan-kebijakan warga negara) yang disajikan dalam mata pelajaran PMP dan atau PPKn dengan memasukan tafsir pancasila menurut P4 sebagai kontennya. Dibidang pendidikan,konsekuensi P4 sebagai keharusan pedoman atau arah tingkah laku warga negara sangat membebani misi pendidikan kewarganegaraan dalam PMP maupun PPKn.
Sedangkan menurut UU No.2 Tahun 1989 dari penjelasan UU No. 2 Tahun 1989 tentang SPN pasal 39 ayat 2, dapat dinyatakan tujuan PKn adalah mewujudkan warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara.
Tabel 1. Formulasi Pendidikan Pancasila dalam GBHN Era Orde Baru
GBHN
|
Tujuan Pendidikan Nasional
|
Formulasi Pendidikan Pancasila
|
1973
(Tap MPR RI No.V/
MPR/ 1973)
|
…untuk membentuk manusia-manusia pembangunan yang ber-Pancasila dan untuk membentuk Manusia Indonesia yang sehat jasmani dan rohaninya, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, dapat mengembangkan kreativitas dan tanggung jawab, dapat menyuburkan sikap demokrasi dan penuh tenggang rasa, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur, mencintai Bangsanya dan mencintai sesama manusia sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam Undang-undang Dasar 1945.
|
… kurikulum di semua tingkat pendidikan mulai dari Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi, baik negeri maupun swasta harus berisikan Pendidikan Moral Pancasila dan unsur-unsur yang cukup untuk meneruskan Jiwa dan Nilai-nilai 1945 kepada Generasi Muda.
|
1978
(Tap MPR RI No. IV/MPR/ 1978)
|
…untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
|
Pendidikan Pancasila termasukPendidikan Moral Pancasila dan unsur-unsur yang dapat meneruskan dan mengembangkan jiwa dan nilai-nilai 1945 kepada generasi muda dimasukkan ke dalam kurikulum di sekolah-sekolah, mulai dari Taman Kanak-kanak sampai universitas, baik negeri maupun swasta.
|
1983
(Tap MPR RI No. II/MPR/ 1983)
|
…untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan dan keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
|
Pendidikan Pancasila termasuk pendidikan pelakasanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), Pendidikan Moral Pancasila dan unsur-unsur yang dapat meneruskan dan mengembangkan jiwa, semangat dan nilai-nilai 1945 kepada generasi muda harus makin ditingkatkan dalam kurikulum sekolah-sekolah dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, dan di lingkungan masyarakat.
|
1988
(Tap MPR RI No. II/MPR/
1988)
|
…untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas dan terampil serta sehat jasmani dan rohani. …menumbuhkan dan memperdalam rasa cinta pada Tanah Air, mempertebal semangat kebangsaan dan rasa kesetiakawanan sosial. …menumbuhkan rasa percaya pada diri sendiri serta sikap dan perilaku yang inovatif dan kreatif. …mewujudkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
|
Pendidikan Pancasila termasukpendidikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), Pendidikan Moral Pancasila, pendidikan sejarah perjuangan bangsa serta unsur-unsur yang dapat meneruskan dan mengembangkan jiwa, semangat dan nilai-nilai kejuangan khususnya nilai-nilai1945 kepada generasi muda, dilanjutkan dan makin ditingkatkan di semua jenis dan jenjang pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta.
|
1993
(Tap MPR RI No. II/MPR/
1993)
|
…untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja, professional, bertanggung jawab, dan produktif serta sehat jasmani dan rohani. …menumbuhkan jiwa patriotik dan mempertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan dan rasa kesetiakawanan social serta kesadaran pada sejarah bangsa dan sikap menghargai jasa para pahlawan, serta berorientasi ke masa depan. …menumbuhkan rasa percaya diri dan budaya belajar di kalangan masyarakat terus ditingkatkan agar tumbuh sikap dan perilaku yang kreatif, inovatif, dan keinginan untuk maju.
|
…pendidikan Pancasila termasukpendidikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), pendidikan moral Pancasila, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan sejarah perjuangan bangsa serta unsur-unsur yang dapat meneruskan dan mengembangkan jiwa, semangat dan nilai kejuangan, khususnya nilai 1945, dilanjutkan dan ditingkatkan di semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan termasuk prasekolah.
|
1998
(Tap MPR RI No. II/MPR/
1998)
|
…untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja, professional, bertanggung jawab, dan produktif serta sehat jasmani dan rohani. …menumbuhkan jiwa patriotik dan mempertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan dan rasa kesetiakawanan sosial serta kesadaran pada sejarah bangsa dan sikap menghargai jasa para pahlawan, serta berorientasi ke masa depan. …menumbuhkan rasa percaya diri dan budaya belajar di kalangan masyarakat terus ditingkatkan agar tumbuh sikap dan perilaku yang kreatif, inovatif, dan keinginan untuk maju.
|
Pendidikan Pancasila termasukpendidikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), pendidikan moral Pancasila, pendidikan agama, dan pendidikan kewarganegaraandilanjutkan dan ditingkatkan di semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan termasuk prasekolah sehingga terbentuk watak bangsa yang kukuh.
|
(Sumber dari MPR, 2002 sebagaimana dikutip oleh Samsuri, 2010)
Tabel 2. Fungsi dan Tujuan PPKn Kurikulum 1994
JENJANG
|
FUNGSI
|
TUJUAN
|
SD/MI
|
1. Melestarikan dan mengembangkan nilai moral Pancasila dalam kehidupan sehari-hari
2. Mengembangkan dan membina siswa yang sadar akan hak dan kewajibannya, taat pada peraturan yang berlaku, serta berbudi pekerti luhur.
3. Membina siswa agar memahami dan menyadari hubungan antar sesama anggota keluarga, sekolah dan masyarakat,
|
Mengembangkan pengetahuan dan kemampuan memahami dan menghayati nilai-nilai Pancasila dalam rangka pembentukan sikap dan perilaku sebagai pribadi, anggota masyarakat dan warganegara yang bertanggungjawab serta memberi bekal kemampuan untuk mengikuti pendidikan di jenjang pendidikan menengah.
|
SMP/MTs
|
1. Melestarikan dan mengembangkan nilai moral Pancasila secara dinamis dan terbuka, yaitu nilai moral Pancasila yang dikembangkan itu mampu menjawab tantangan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, tanpa kehilangan jatidiri sebagai bangsa Indonesia, yang merdeka, bersatu dan berdaulat.
2. Mengembangkan dan membina siswa menuju Manusia Indonesia seutuhnya yang sadar politik, hukum dan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia berlandaskan Pancasila.
3. Membina pemahaman dan kesadaran terhadap hubungan antara warga negara dengan sesama warga negara dan pendidikan pendahuluan bela negara agar mengetahui dan mampu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
4. Membekali siswa dengan sikap dan perilaku yang berdasarkan nilai-nilai moral Pancasila dan UUD 1945 dalam kehidupan sehari-hari.
|
Mengembangkan pengetahuan dan kemampuan memahami dan menghayati nilai-nilai Pancasila dalam rangka pembentukan sikap dan perilaku sebagai pribadi, anggota masyarakat dan warganegara yang bertanggungjawab serta memberi bekal kemampuan untuk mengikuti pendidikan di jenjang pendidikan menengah.
|
SMA/SMK/MA
|
1. Mengembangkan dan melestarikan nilai moral Pancasila secara dinamis dan terbuka. Dinamis dan terbuka dalam arti bahwa nilai dan moral yang dikembangkan mampu menjawab tantangan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, tanpa kehilangan jatidiri sebagai bangsa Indonesia, yang merdeka, bersatu dan berdaulat.
2. Mengembangkan dan membina siswa menuju Manusia Indonesia seutuhnya yang sadar politik, hukum dan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia berlandaskan Pancasila.
3. Membina pemahaman dan kesadaran terhadap hubungan antara warga negara dengan dengan negara, antara warga negara dengan sesama warga negara dan pendidikan pendahuluan bela negara agar mengetahui dan mampu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
|
Meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan kemampuan memahami, menghayati dan meyakini nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman berperilaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sehingga menjadi warganegara yang bertanggungjawab dan diandalkan serta memberi bekal kemampuan untuk belajar lebih lanjut.
|
Sumber dari Kepmendikbud No. 060/U/1993 dan Kepmendikbud No. 061/U/1993.
Menurut kelompok kami tujuan kurikulum dapat disimpulkan bahwa pada era Presiden Soekarno tujuan kurikulum atau tujuan pendidikan disesuaikan dengan tujauan negara. Hal inikarena dengan adanya penyesuaian tujuan pendidikan dengan tujuan pemerintah atau negara, maka menjadi jelaslah arah pelaksanaan pendidikan pada suatu negara. Tujuan negara saat itu ingin membentuk masyarakat Indonesia yang sosialis. Kebijakan pendidikan saat itu dilakukan secara sentralistik, bahwa kebijakan pendidikan di masa itu diarahkan kepada proses indoktrinasi dan menolak segala unsur budaya yang datangnya dari luar. Indroktrinasi pendidikan mulai dari jenjang sekolah dasar sampai pendidikan tinggi diarahkan untuk pengembangan sikap militerisme yang militan sesuai dengan tuntutan kehidupan di suasana perang dingin pada saat itu.
Berbeda halnya dengan era Presiden Soeharto bahwa tujuan pendidikan nasional mampu melahirkan manusia-manusia pembangunan, memiliki karakter diantaranya adalah: sehat jasmani dan rohani,memiliki pengetahuan dan keterampilan,sikap demokrasi dan penuh dengan tenggang rasa,cerdas,berbudi pekerti yang luhur, bekerja keras,inovatif dan kreatif, berkepribadian,dll.Pada era ini tujuan kurikulum lebih menekankan pada pembentukan karakter dan kepribadian peserta didik terbukti dengan adanya PMP dan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) sebagai konsekuensi pengamalan Pancasila dan UUD1945 yang murni dan konsekuen yang diinginkan orde baru.
C. ISI atau MATERI
Isi kurikulum merupakan susunan bahan kajian dan pelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, yang meliputi bahan kajian dan mata pelajaran pada proses belajar-mengajar, seperti pengetahuan, keterampilan, dan nilai nilai yang diasosiasikan dengan mata pelajaran. Isi kurikulum berkenaan dengan pengetahuan ilmiah dan pengalaman belajar yang harus diberikan kepada siswa untuk dapat mencapai tujuan pendidikan. Dalam menentukan isi kurikulum baik yang berkenaan dengan pengetahuan ilmiah maupun pengalaman belajar disesuaikan dengan tingkat dan jenjang pendidikan, perkembangan yang terjadi dalam masyarakat menyangkut tuntutan dan kebutuhan masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tabel 3. Kurikulum dan materi
KURIKULUM
|
ISI Atau MATERI
|
Kewarganegaraan (1957)
|
Isi pelajaran kewarganegaraan adalah membahas cara memperoleh dan kehilangan kewarganegaraan.
|
Civics (1961)
|
Isi civics banyak membahas tentang sejarah kebangkitan nasional .UUD 1945, pidato-pidato politik kenegaraan yang terutama diarahkan untuk “nation and character building” Bangsa Indonesia seperti pada waktu pelaksanaan civics di America pada tahun-tahun setelah declaration of Independence Amerika
|
Pendidikan Kewargaan Negara (1968)
|
pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus.
|
Data dikutip dalam Nu’man Somantri (1976: 34-35)
Sedangkan menurut Ali Emran (1976: 4) isi PKn meliputi :
1) Untuk SD : pengetahuan Kewargaan negara, sejarah Indonesia, ilmu Bumi.
2) Untuk SMP : Sejarah kebangsaan, kejadian setelah kemerdekaan, UUD 1945, Pancasila, Ketetapan MPRs.
3) Untuk SMA : Uraian pasal-pasal dari UUD 1945 yang dihubungkan dengan tatanegara, sejarah, ilmu bumi dan ekonomi.
Kuhn dalam (Winataputra dan Budimansyah, 2007:71) mengemukakan :
Tabel 4. Perkembangan kerikulum dan isinya
NO
|
KURIKULUM
|
ISI
|
1.
|
Kewarganegaraan (1957)
|
membahas cara memperoleh dan kehilangan kewargaan negara.
|
2.
|
Civics (1962)
|
tampil dalam bentuk indoktrinasi politik.
|
3.
|
Pendidikan Kewargaan Negara (1968)
|
sebagai unsur dari pendidikan kewargaan Negara yang bernuansa pendidikan ilmu pengetahuan sosial.
|
4.
|
Pendidikan Kewargaan Negara (1969)
|
tampil dalam bentuk pengajaran konstitusi dan ketetapan MPRS.
|
5.
|
Pendidikan Kewargaan Negara (1973)
|
yang diidentikkan dengan pengajaran IPS.
|
6.
|
Pendidikan Moral Pancasila (1975 dan 1984)
|
tampil menggantikan PKN dengan isi pembahasan P4.
|
7.
|
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (1994)
|
sebagai penggabungan bahan kajian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang tampil dalam bentuk pengajaran konsep nilai yang disaripatikan dari Pancasila dan P4.
|
Tabel 5. Materi PPKn Kurikulum 1994 untuk Satuan Pendidikan SD/MI, SLTP/MTs dan SMU/MA
JENJANG
|
RUANG LINGKUP MATERI
|
SD
|
1. Nilai, moral dan norma serta nilai-nilai spiritual bangsa Indonesia dan perilaku yang diharapkan terwujud dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sebagaimana dimaksud dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.
2. Kehidupan ideologi politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam wadah kesatuan negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
|
SMP
|
1. Nilai, moral dan norma serta nilai-nilai spiritual bangsa Indonesia dan perilaku yang diharapkan terwujud dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sebagaimana dimaksud dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.
2. Kehidupan ideologi politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam wadah kesatuan negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
|
SMA
|
1. Nilai, moral dan norma serta perilaku yang diharapkan terwujud dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sebagaimana dimaksud dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.
2. Kehidupan ideologi politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam wadah kesatuan negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
|
Sumberdari Kepmendikbud No. 060/U/1993 dan Kepmendikbud No. 061/U/1993.
Kita masih ingat bagaimana, khususnya dalam sejarah, berbagai macam pelajaran sejarah yang ada secara tumpang tindih diberikan berkali-kali, dari SD, SMP, dan SMA, bahkan perguruan tinggi dalam bentuk P4. Masalahnya, isi pelajaran sejarah yang ada tidak lebih dari justifikasi mengenai G30-S-PKI, Serangan Fajar, atau berbagai pembenaran konstitusional terhadap kebijakan pemerintah saat itu.
Tidak heran apabila sistem pendidikan yang ada di Indonesia amat tersentralisasi dengan 80 persen dari kurikulum yang ada ditentukan oleh pusat. Contoh lain, dalam hal dana instruksi presiden (inpres) Yang lebih memprihatinkan, pendidikan dinilai hanya dijadikan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan melalui berbagai polarisasi, indoktrinasi, sentralisasi, dan regulasi yang tidak memihak rakyat. Keluaran pendidikan tidak digembleng untuk mengabdi kepada rakyat, tetapi telah dipola dan dibentuk untuk mengabdi kepada kepentingan kekuasaan.
Dari penjelasan diatas kelompok kami dapat menyimpulkan bahwa isi atau materi PPKn pada era Presiden Soekarno Dalam kurikulum tahun 1945, 1952 dan 1964 ini muatan pendidikan kewarganegaraan berada pada mata pelajaran Moral yang mana mata pelajaran dalam kurikulum ini dikelompokan menjadi lima kelompok bidang studi, yaitu: (a) Moral; (b) Kecerdasan; (c) Emosional/ artistic; (c) Keprigelan (keterampilan); (d) Jasmaniah. Yang menjadi isi atau materi dari PPKn era Presiden Soekarno diantaranya : Pancasila, UUD1945, Kebijakan Politik Soekarno (manifesto politik, Konfrontasi Malaysia,dll)
Sedangakan dalam era Presiden Soeharto yang menjadi isi atau materi dari PPKn Era Soeharto diantaranya : Pancasila, UUD 1945, GBHN. Dalam Kurikulum 1984, mata pelajaran PMP ini terus dipertahankan baik istilah maupun isinya sampai dengan berlakunya Kurikulum 1984 yang pada dasarnya merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 1975. Pendidikan Moral Pancasila (PMP) pada masa itu berorientasi pada value inculcation dengan muatan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 (Winataputra dan Budimansyah, 2007:97)
D. PROSES atau METODE
Metode adalah cara yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran dalam upaya mencapai tujuan kurikulum. Metode atau strategi pembelajaran menempati fungsi yang penting dalam kurikulum, karena memuat tugas tugas yang perlu dikerjakan oleh siswa dan guru, karena itu penyusunannya hendaknya berdasarkan analisa tugas yang mengacu pada tujuan kurikulum dan berdasarkan perilaku awal siswa.
Tabel.6 Kurikulum dan Metode
KURIKULUM
|
METODE
|
1947
|
Materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.
|
1952
|
kurikulum Rencana Pelajaran Terurai 1952, lebih merinci setiap mata pelajaran. "Silabus mata pelajarannya jelas sekali. seorang guru mengajar satu mata pelajaran,"
|
1964
|
Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis. Fokus kurikulum ini adalah pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Panca wardhana).
|
1968
|
Kurikulum ini menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran, Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tidak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya pada materi apa saja yang tepat diberikan kepada siswa di setiap jenjang pendidikan.
|
Kurikulum
1975
|
Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI) "satuan pelajaran", yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci menjadi : (TIU), (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi.
Kurikulum 1984 atau "Kurikulum 1975 yang disempurnakan". (Profesor Dr. Conny R. Semiawan, Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986). Kurikulum ini mengusung process skill approach. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu,mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus hasilnya di sekolah-sekolah yang di ujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah. Akhiran penolakan CBSA bermunculan.
|
Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999
|
perpaduan antar tujuan dan proses belum berhasil. Sehingga banyak kritik berdatangan, disebabkan oleh beban belajar siswa dinilai terlalu berat, dari muatan nasional sampai muatan lokal.
Akhirnya, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum 1999. Tapi perubahannya lebih pada menambal sejumlah materi.
|
Sumber : di kutip dari http://prosiding.upgrismg.ac.id
Berdasarkan uraian diatas kelompok kami menyimpulkan bahwa proses atau metode merupakan cara yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran dalam upaya mencapai tujuan kurikulum. Pada era Presiden Soekarno metode atau proses yang di gunakan pengajar atau tenaga pendidik PPKn adalah lebih kepada mengaitkan materi dengan isu-isu yang faktual pada waktu itu dan mengaitkannya dengan kegiatan dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu terlihat dari cakupan materi atau isi dari PPKn era Presiden Soekarno ini adalah dengan dimasukkannya kebijakan politik Soekarno kedalam isi atau materi dari PPKN di era Presiden Soekarno ini.
Berbeda halnya dengan metode atau proses yang digunakan dalam era Presiden Soekarno, dalam era Presiden Soeharto yang menempatkan peserta didik sebagai subyek belajar. Dalam hal ini peserta didik diberi kebebasan untuk mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Jadi peserta didik lebih aktif dan mandiri. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).
E. EVALUASI
Dalam konteks kurikulum evaluasi berfungsi untuk mengetahui apakah tujuan yang telah ditetapkan telah tercapai atau belum, atau untuk evaluasi yang digunakan sebagai umpan balik dalam perbaikan strategi yang ditetapkan. Evaluasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kurikulum. Melalui evaluasi, dapat ditentukan nilai dan arti kurikulum sehingga dapat di jadikan bahan pertimbangan apakah suatu kurikulum perlu dipertahankan atau tidak, dan bagian-bagian maka yang harus disempurnakan. Evaluasi merupakan komponen untuk melihat efektivitas pencapain tujuan. Dalam konteks kurikulum, evaluasi dapat berfungsi untuk mengetahui apakah tujuan yang di tetapkan telah tercapai atau belum, atau evaluasi di gunakan sebagai umpan balik dalam perbaikan straitegi yang di tetapkan.
Pada Orde Lama sudah mulai diadakan ujian-ujian negara yang terpusat dengan sistem kolonial yang serba ketat tetapi tetap jujur dan mempertahankan kualitas. Hal ini didukung karena jumlah sekolah belum begitu banyak dan guru-guru yang ditempa pada zaman kolonial. Pada zaman itu siswa dan guru dituntut disiplin tinggi
Selama periode Orde Baru, pendidikan sebagai instrumen pembentukan karakter warga negara menampakkan wujudnya dalam standardisasi karakter warga negara. Standardisasi itu mencerminkan civic virtues (kebajikan-kebajikan warga negara) yang disajikan dalam mata pelajaran PMP dan PPKn dengan memasukan materi pembelajaran Pancasila yang dijabarkan dari butir-butir P4. Civic virtues itu masing-masing dijabarkan dari nilai-nilai moral Pancasila menjadi 36 butir pengamalan. P4 inilah yang kemudian menjadi keharusan pedoman atau arah petunjuk tingkah laku setiap warga negara, sebagaimana disusun dalam Tabel 2. Meskipun Pasal 1 Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 menjelaskan bahwa ―Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila tidak merupakan tafsir Pancasila sebagai Dasar Negara sebagaimana tercermin dalam Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh dan Penjelasannya,‖ tetapi P4 menjadi kelihatan lebih penting dari Pancasila itu sendiri. Lebih jauh, P4 dan Pancasila menjadi ―kata sakti‖ dalam segenap kesempatan pejabat dari tingkat pusat hingga lokal dalam forum-forum formal maupun non formal
Tabel 7. Penjabaran Pancasila menurut P4 sebagai Civic Virtues
Sila-sila Pancasila
|
Butir-butir Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
|
Ketuhanan Yang Maha Esa
|
1. Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
2. Hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga terbina kerukunan hidup
3. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya
4. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.
|
Kemanusiaan yang adil dan beradab
|
5. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia
6. Saling mencintai sesama manusia
7. Mengembangkan sikap tenggang rasa
8. Tidak semena-mena terhadap orang lain
9. Menjunjung tingi nilai kemanusiaan
10. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan
11. Berani membela kebenaran dan keadilan
12. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain
|
Persatuan Indonesia
|
13. Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan
14. Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara
15. Cinta Tanah Air dan Bangsa
16. Bangga sebagai Bangsa Indonesia dan ber-Tanah Air Indonesia
17. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika
|
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan
|
18. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat
19. Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain
20. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama
21. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan
22. Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
23. Menghayati arti musyawarah yang dilakukan denganakal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
24. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan
|
Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia
|
25. Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotong-royongan
26. Bersikap adil
27. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban
28. Menghormati hak-hak orang lain
29. Suka memberi pertolongan kepada orang lain
30. Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain
31. Tidak bersikap boros
32. Tidak bergaya hidup mewah
33. Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum
34. Suka bekerja keras
35. Menghargai hasil karya orang lain
36. Bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial
|
Sumber: dari Ketetapan MPR RI No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.
Dari penjelasan diatas kelompok kami menyimpulkan bahwaa pada zaman pra Orde Baru tampak jelas bahwa pendidikan diarahkan kepada kepentingan politik Negara, yaitu membangun nasionalisme, persatuan, dan penggalangan kekuatan bangsa. Dalam konteks ini system pendidikan lebih diarahkan untuk menolak segala pengaruh asing. Tidak ada kebebasan berfikir, semua diarahkan ke nasionalisme sempit itu.
Sedangkan pada era Presiden Soeharto P4 sebagai keharusan pedoman atau arah tingkah laku warga negara sangat membebani misi pendidikan kewarganegaraan dalam PMP maupun PPKn.
F. KESIMPULAN
Tabel 8. Eksistensi PKn dalam Kurikulum dari waktu ke waktu
Kurikulum dalam kurun waktu
|
Nama
Kurikulum
|
Istilah yang digunakan untuk PKndlm struktur kurikulum
|
Keterangan
|
1. Kurun waktu
1945- 1968
(Tahun 1947, 1952, 1964, 1968)
| |||
Tahun 1947
|
Rencana
Pelajaran
|
Belum ada
istilah khusus
|
Pendidikan lebih menekankan padapembentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka, berdaulat, sejajar denganbangsa lain di muka bumi.
|
Tahun 1952
|
Rencana PelajaranTerurai
|
Civic/Kewargaan Negara
|
Isi Civic: Pancasila, UUD, Tap MPR, PBB
|
Tahun 1964
|
Rencana Pendidikan 1964/ Kurikulum 1964
|
Pengembangan Moral
|
Untuk pembekalan jenjang SD, termasuk program Pancawardhana yang dijadikan sebagai pusat pembelajaran pada saat itu
|
Tahun 1968
|
Kurikulum 1968 Sekolah Dasar
|
Pendidikan Kewargaan Negara (PKN)
|
Tujuan PKN unt membina/ menanamkan,mengem-
bangkan dan memelihara
jiwa dan moral yang baik
berdasarkan Pancasila
|
2. Kurun waktu 1968-1999
(Th 1975, 1984,1994)
| |||
Tahun 1975
|
Kurikulum 1975
Sekolah Dasar
|
Pendidikan Moral Pancasila (PMP
|
Berdasrakan Tap IV/MPR/1973 mengamanatkan kurikulum di semua tingkat pendidikan harus berisikan Pendidikan Moral Pancasila (PMP)
|
Tahun 1984
|
Kurikulum 1984
|
Pendidikan Moral Pancasila bermuatan P-4 (PMP/P-4)
|
Berdasarkan Tap II/MPR/1978 diadakan reorganisasi PMP disesuaikan P-4. Berdsrkan Tap IV/Mampak PR/1978, PMP yang disesuaikan P-4 menjadi isi kurikulum di semua tingkat pendidikan, dengan alokasi waktu 2 jam/minggu
|
Tahun 1994
|
Kurikulum 1994
|
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn)
|
Berdasarkan UU no 2 th 1989 mengamanatkan bahwa isi kurikulum di setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat (a) pendidikan Pancasila;(b) pendidikan agama; (c)pendidikan kewarganegaraan.Alokasi waktu 2 jam/minggu
|
Sejarah perkembangan kurikulum di Indonesia sejak tahun 1945 sampai sekarang, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan beberapa kali. Perubahan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi tiga kurun waktu, yaitu: (1) Kurun waktu 1945 – 1968 (tahun 1947, 1952, 1964, 1968); (2) Kurun waktu 1968-1999 (tahun 1975, 1984,1994); (3) Kurun waktu 1968-1999 (tahun 2004, 2006, 2013).
Pendidikan kewarganegaraan pada masa Pemerintahan Sukarno, berkembang dengan nomenklatur mata pelajaran: Kewarganegaraan (1957), dan Civics (1961). Mata pelajaranKewarganegaraan (1957) membahas cara memperoleh dan kehilangan kewarganegaraan, sedangkan Civics (1961) lebih banyak membahas sejarah kebangkitan nasional, UUD 1945, pidato-pidato politik kenegaraan, terutama untuk ―nation and character building‖ bangsa Indonesia seperti pelajaran Civics di Amerika Serikat pada tahun-tahun setelah Deklarasi Kemerdekaan Amerika. Perkembangan berikutnya, mata pelajaran ―Civics‖ yang kemudian diganti menjadi ―Kewargaan Negara‖ pada 1962, pada Kurikulum 1968 ditetapkan secara resmi menjadi ―Pendidikan Kewargaan Negara.‖ Di dalam kurikulum ini, penjabaran ideologi Pancasila sebagai pokok bahasan dianggap mengedepankan kajian tata negara dan sejarah perjuangan bangsa, sedangkan aspek moralnya belum nampak (Aman,1982: 11). Kajian Pendidikan Kewargaan Negara untuk masing-masing jenjang berbeda-beda kekomplekannya. Untuk jenjang sekolah dasar Mata Pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara meliputi program pembelajaran Sejarah Indonesia, Civics, dan Ilmu Bumi. Untuk jenjang SMP, Mata Pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara meliputi program pembelajaran isinya Sejarah Kebangsaan (30%), Kejadian setelah Indonesia merdeka (30%), dan UUD 1945 (40%). Untuk jenjang SMA, Mata Pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara meliputi program pembelajaran sebagian besar terdiri atas UUD 1945 (Somantri, 2001: 284-285).
Mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan dalam PMP ataupun PPKn didominasi oleh materi nilai-nilai moral Pancasila (Langenberg,1990:132). Hal ini mencerminkan bahwa PMP atau PPKn lebih merupakan pendidikan budi pekerti daripada pendidikan kewarganegaraan yang sesungguhnya.
DAFTAR PUSTAKA
Aman, Sofyan, dkk., 1982, Pedoman Didaktik Metodik Pendidikan Moral Pancasila untuk para Guru SD, SLTP dan SLTA, Jakarta: PN Balai Pustaka
Rianti Nugroho, 2008. Pendidikan Indonesia: Harapan, Visi,dan Strategi, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar,).
Somantri, M. N. 2001. Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Rosda Karya
Winataputra dan Budimansyah, 2007 .Civic E ducation. Bandung: Program pascasarjana UPI