Jumat, 23 Oktober 2015

MAKALAH STUDI MASYARAKAT INDONESIA MANAJEMEN KONFLIK DALAM MASYARAKAT MULTIKULTURAL INDONESIA “ KONFLIK PEMBAKARAN GEREJA DI SINGKIL ACEH”


MAKALAH
STUDI MASYARAKAT INDONESIA
MANAJEMEN KONFLIK DALAM MASYARAKAT MULTIKULTURAL INDONESIA
  “ KONFLIK PEMBAKARAN GEREJA DI SINGKIL ACEH”
Disusun sebagai tugas individu ( pengganti Ujian Tengah Semester)
Dosen Pengampu :

1.            Dr. Eko Handoyo, M.Si.
2.            Drs. Setiajid M.Si.
3.           Novi Wahyu Wardhani S.Pd., M.Pd.


Disusun Oleh :
Dani Prasetyo                          ( 3301414104 )


PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
JURUSAN POLITIK DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2015

KATA PENGANTAR
        Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya bisa menyelesaikan makalah dengan judul MANAJEMEN KONFLIK DALAM MASYARAKAT MULTIKULTURAL INDONESIA “ KONFLIK PEMBAKARAN GEREJA DI SINGKIL ACEH” yang disusun sebagai tugas individu dan penganti ujian tengah semester mata kuliah Setudi Masyarakat Indonesia dalam waktu yang telah ditentukan.
Adanya makalah ini diharapkan dapat membantu pembaca sehingga dapat memahami menejemen konflik dalam masyarakat multikultural , penyelesaian atau cara mengatasi konflik dalam masyarakat multikultural.
           Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Bapak Dr. Eko Handoyo, M.Si., Bapak Drs. Setiajid M.Si.  dan  Ibu Novi  .selaku dosen pengampu mata kuliah Studi masyarakat Indonesia yang telah memberikan materi serta masukannya terhadap materi serta semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Makalah ini saya susun dengan semaksimal mungkin, namun saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, baik dari segi fisik maupun isi. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.

Semarang, 13 Oktober  2015

Penulis








DAFTAR ISI


Halaman sampul ........................................................................................i
Kata pengantar......................................................................................... ii
Daftar isi.................................................................................................. iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang................................................................................... 1
1.2 Rumusan masalah............................................................................... 2
1.3 Tujuan................................................................................................ 2
1.4 Metode Penulisan .............................................................................. 2
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Manajemen ........................................................................................ 4
2.2 Konflik................................................................................................ 8
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil................................................................................................... 10
3.2 Pembahasan....................................................................................... 16
BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan ...........................................................................................  20
4.2 Saran ................................................................................................  21
DAFTARPUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  LATAR BELAKANG
        Masyarakat Indonesia sangatlah beragam dan multikultural baik dalam hal budaya maupun dalam sistem kepercayaan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya keanekaragaman dalam kebudayaan, ras, suku bangsa, bahasa, dan agama. Perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat di Indonesia, tersebar di seluruh pulau yang dimiliki oleh Negara Republik Indonesia. Masyarakat yang heterogen akan mengalami hal-hal yang berbeda-beda dalam kehidupan sehari-hari, seperti, bertutur kata, cara berbusana, tata cara peribadatan antar agama satu dengan agama yang lain.
 Aceh merupakan provinsi yang terletak di ujung Pulau Sumatra dan paling barat kepulauan nusantara. Aceh yang dikenal dengan nama lain Serambi Mekkah adalah wilayah yang unik dari segi budaya dan kultur. Aceh bukanlah wilayah yang homogen, tetapi heterogen  karena masyarakat Aceh dari segi suku bangsanya memiliki keunikan tersendiri, karena menggambarkan suatu integrasi etnik atau campuran etnik yang akhirnya menjadi etnik baru yang disebut Aceh. Etnik Aceh diduga berasal dari India dan Timur Tengah, memiliki kemiripan dengan etnik Melayu yang hidup di Nusantara maupun di Semenanjung Melayu lainnya  ( A. Rani Usman, 2003: 7 ).
 Aceh merupakan daerah kaya akan sumber daya alam dan mineral, terutama gas dan minyak bumi, serta hasil hutan dan lautan. Daerah yang terletak di utara Pulau Sumatera ini terdiri dari 119 pulau, 35 gunung, dan 73 sungai dengan luas wilayah 57.365,57 kilometer persegi ( Moh. Soleh Isre ,2003 :103 )        .
Masyarakat Nanggro Aceh Darussalam khususnya di Kabupaten Singkil merupakan salah satu masyarakat yang terbentuk dari sebuah masyarakat yang multikultural khususnya dalam hal kepercayaan. Selama ini mereka hidup berdampingan dengan rukun satu sama lain sebelum terjadinya kerusuhan di Singkil pada tanggal 13 Oktober 2015.
Konflik atau kerusuhan Singkil Aceh sebenarnya muncul akibat terjadinya pertentangan mengenai penerapan nilai sosial yang ada di dalam sebuah masyarakat, karena ukuran benar salahnya suatu tindakan antar individu satu dengan individu yang lain berbeda-beda. Nilai-nilai sosial di Indonesia dilandaskan akan Pancasila, maka demi memunculkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia maka perlu diadakan musyawarah untuk mencapai sebuah mufakat.

1.2  RUMUSAN MASALAH
Alasan yang melatarbelakangi disusunnya makalah ini adalah karena adanya pertanyaan-pertanyaan yang muncul dibenak penyusun, yang penyusun  sebut sebagai rumusan masalah. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Apa yang menyebabkan konflik di singkil Aceh ??
2.    Bagaimana tangapan pemerintah setelah kejadian tersebut ?
3.    Bagaimana upaya untuk menyelesaikan masalah kerusuhan yang terjadi di Singkil Aceh tersebut ?

1.3  TUJUAN
Sebagaimana yang ada di dalam rumusan masalah yang memuat beberapa pertanyaan mengenai materi yang dibahas dalam makalah ini, maka disinipun tidak akan jauh berbeda dengan tujuan dari penyusunan makalah ini yaitu adalah untuk 1.  mengetahui penyebab konflik di singkil Aceh
2.    mengetahui tangapan pemerintah setelah kejadian tersebut
3.    memberikan saran atau solusi untuk menyelesaikan masalah kerusuhan yang terjadi di Singkil Aceh tersebut


1.4  METODE PENULISAN
                 bahwa penelitian sesungguhnya sebagian kecil terdiri dari teknik dan sebagian besar merupakan penalaran. Melalui penelitian semakin jernih jalan pemecahan yang dapat ditempuh. Di mulai dengan pengenalan masalah, kemudian sampai pada hipotesa dan akhirnya penarikan kesimpulan. Proses itu semua adalah proses berpikir, baik secara induktif, secara deduktif maupun perpaduan di antara keduanya. Penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang berpaya untuk memperoleh pemecahan suatu masalah. Oleh karena itu, penelitian sebagai sarana dalam pengembangan ilmu pengetahuan adalah bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, analisis, dan konstruktif terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah (Ronny Hannitijo Soemitro,1998: 44)
                 Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini yaitu metode penelitian hukum normatif (Library Research) adalah penelitian yang mengacu pada buku-buku dan literatur-literatur yang berhubungan dengan judul penelitian.
                 Sumber sejarah primer adalah sumber sejarah yang direkam dan dilaporkan oleh para saksi mata. Data-data dicatat dan dilaporkan oleh pengamat atau partisipan yang benar-benar mengalami dan menyaksikan suatu peristiwa sejarah (Daliman ,2012: 55).  Sumber primer bisa berupa dokumen sejaman, arsip, surat kabar, rekaman peristiwa atau wawancara dengan pelaku sejarah. Sumber primer yang digunakan dalam makalah ini yakni:
Usman A Rani, 2003, Sejarah Peradaban Aceh. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Isre Moh. Soleh, 2003, Konflik Etno Religius Indonesia Kontemporer. Jakarta: Departemen Agama RI,
Sumber sejarah sekunder disampaikan bukan oleh yang menyaksikan atau partisipan suatu peristiwa sejarah. Penulis sumber sekunder bukanlah orang yang hadir dan menyaksikan sendiri suatu peristiwa, namun hanya melaporkan apa yang terjadi berdasarkan kesaksian (Daliman ,2012: 55).  Sumber sekunder misalnya buku pendukung yang berkaitan dengan pengetahuan Aceh.
















BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 MANAJEMEN
          Istilah manajemen berasal dari bahasa Italia Maneggiare (Haney dalam Mardianto, 2000) yang berarti melatih kuda-kuda atau secara harfiah to handle yang berarti mengendalikan, sedangkan dalam kamus Inggris Indonesia (Echols dan Shadily, 2000) management berarti pengelolaan dan istilah manager berarti tindakan membimbing atau memimpin, sedangkan dalam bahasa Cina, manajemen adalah kuan lee yang berasal dari dua kata yaitu kuan khung (mengawasi orang kerja) dan lee chai (menmanajemen konfliksi uang) (Mardianto, 2000).
Manajemen dapat didefinisikan melalui banyak cara. Mary Parker Follet, salah satu tokoh ilmu manajemen, sebagaimana dikutip oleh Mahmud M. Hanafi mendefinisikan manajemen sebagai seni mencapai sesuatu melalui orang lain. Dengan definisi tersebut, manajemen tidak menghendaki seseorang untuk bekerja sendiri, tetapi bekerja sama dengan orang lain untuk mencapai tujuan tertentu (Mahmud M. Hanafi, 1997 :6).
Manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumberdaya-sumberdaya lainnya agar mencapai tujuan yang telah ditetapkan (T. Hani Handoko,1984:9).
Definisi lain menyebutkan bahwa manajemen adalah ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber daya lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan tertentu (Malayu Hasibuan,)
Melihat dari beberapa pengertian manajemen di atas, serta kenyataan bahwa manajemen itu ilmu sekaligus seni maka manajemen itu dapat diberi definisi sebagai seni dan ilmu perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan dari sumber daya manusia untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan terlebih dahulu
Menurut kamus besar bahasa Indonesia (1997) manajemen adalah proses penggunaan sumber daya secara efektif dan efisien untuk Mencapai Spiritual tujuan. Manajemen merupakan proses penting yang menggerakkan organisasi karena tanpa manajemen yang efektif tidak akan ada usaha yang berhasil cukup lama.

Faktor manusia dalam manajemen merupakan unsur terpenting sehingga berhasil atau tidaknya suatu manajemen untuk mendorong dan menggerakkan orang-orang kearah tujuan yamg akan dicapai sangatlah tergantung pada sumber daya manusia masing-masing. Selain unsur manusia juga ada unsur barang, mesin, metode, dan cara berfikir yang berbeda. Dalam hal ini unsur-unsur manajemen berupa dana dan sumber daya alam berapapun jumlahnya akan selalu terbatas. Oleh karena itu seorang pemimpin atau pendidik harus menggunakannya secara efisien.
Sehingga manajemem dapat didefinisikan sebagai mengawasi/mengatur orang bekerja dan menmanajemen konfliksi administrasi dengan baik. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa manajemen adalah sebuah tindakan yang berhubungan dengan usaha tertentu dan penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai Spiritual tujuan.
Manajemen konflik ,sama seperti istilah yang berasosiasi dengan istilah ini, yaitu regulasi konflik, sering kali digunakan sebagai istilah generic untuk meliputi seluruh penanganan konflik secara positif, tetapi istlah ini digunakan untuk merujuk pada pembatasan, pelonggaran dan isolasi konflik dengan kekerasan.(Miall Huge,dkk,2002:30)
Manajemen konflik dapat didefinisikan sebagai segala seni pengaturan atau pengelolaan berbagai konflik maupunn pertentangan yang ada untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan. Apakah tujuan tersebut berupa akomodasi, dominasi atau kemenangan suatu pihak. Manajemen konflik atau pertentangan juga diartikan sebagai kemampuan dalam mengendalikan ambiguitas dan paradoks yang terjadi dalam suatu konflik. Dalam penelitian yang telah dilakukan konflik atau pertentangan yang akan dikelola adalah konflik yang ada pada diri masing-masing mahasiswa berdasarkan karakteristiknya maupun konflik yang terjadi antar personal dalam suatu kelas perkuliahan.

2.2 KONFLIK
           Setelah memahami pengertian manajemen, selanjutnya adalah pengertian konflik. Menurut kamus bahasa Indonesia (1997), konflik berati percekcokan, pertentangan, atau perselisihan. Konflik juga berarti adanya oposisi atau pertentangan pendapat antara orang-orang atau kelompok-kelompok. Setiap hubungan antar pribadi mengandung unsur-unsur konflik, pertentangan pendapat, atau perbedaan kepentingan.
       Kata konflik mengandung banyak pengertian. Ada pengertian yang negatif, konflik dikaitkan dengan: sifat-sifat kekerasan dan penghancuran. Dalam pengertian positif, konflik dihubungkan dengan peristiwa: hal-hal baru, pertumbuhan, perkembangan, dan perubahan. Sedangkan dalam pengertian yang netral, konflik diartikan sebagai: akibat biasa dari keanekaragaman individu manusia dengan sifat-sifat yang berbeda, dan tujuan hidup yang tidak sama pula (Kartini Kartono, 1998: 213)
           Konflik adalah fenomena sosial yang selalu saja terjadi dalam kehidupan setiap komunitas dan konflik tidak dapat dimusnahkan atau dihindari (Dahrendrof dalam Stokhof W.A.L. dan Murni Djamal,2003;115). Sedangkan Menurut Johnson (Supratiknya, 1995) konflik adalah situasi dimana tindakan salah satu pihak berakibat menghalangi, menghambat atau mengganggu tindakan pihak lain. Kendati unsur konflik selalu terdapat setiap bentuk hubungan antar pribadi, pada umumnya masyarakat memandang konflik sebagai
            Sedangkan menurut Soerjono Soekanto, Konflik adalah pertentangan atau pertikaian suatu proses yang dilakukan orang atau kelompok manusia guna memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai ancaman dan kekerasan. Oleh karena itu konflik diidentikkan dengan tindakan kekerasan. (Soerjono Soekanto, 1992:86)
          Konflik menurut Karl Marx, hakikat kenyataan sosial adalah konflik. Konflik adalah satu kenyataan sosial yang bisa ditemukan dimana-mana. Bagi karl Marx, konflik sosial adalah pertentangan antara segmen-segmen masyarakat untuk memperebutkan aset-aset yang bernilai. Jenis dari konflik sosial ini bisa bermacam-macam yakni konflik antar individu, konflik antar kelompok, dan bahkan konflik antar bangsa. Tetapi bentuk konflik yang paling menonjol menurut Karl Marx, adalah konflik yang disebabkan oleh cara produksi barang-barang material (George Ritzer dan Douglas J. Gooman, 2004:73)
           Sedangkan menurut Pruitt dan Rubin, “konflik adalah persepsi mengenai perbedaan kepentingan. (Perceived divergence of interest) atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dicapai secara simultan”. Jika memahami konflik adalah persepsi, aspirasi dan aktor yang terlibat di dalamnya. Artinya di dalam dunia sosial yang ditemukan persepsi, maka akan ditemukan pula aspirasi dan aktor. Konflik bisa muncul pada skala yang berbeda seperti konflik antar orang (interpersonal conflict), konflik antar kelompok (intergroup conflict), dan konflik antar negara (interstate conflict).
           Setiap skala memiliki latar belakang dan arah perkembangannya, manusia di dunia ini pada dasarnya memiliki sejarah konflik dalam skala antar perorangan sampai antar negara. Konflik yang bisa dikelola secara arif dan bijaksana akan mendominasi proses sosial dan bersifat konstruktif bagi perubahan sosial masyarakat dan tidak menghadirkan kekerasan. Namun dalam catatan sejarah masyarakat dunia, konflik sering diikuti oleh bentuk-bentuk kekerasan, seperti perang dan pembantaian (Novri Susan, 2009 : 5-6)
            Istilah konflik cenderung menimbulkan respon-respon yang bernada ketakutan dan kebencian, padahal konflik itu sendiri merupakan suatu unsur yang sangat penting dalam pengembangan dan perbuatan. Konflik juga dapat memberikan akibat yang merusak terhadap diri seseorang, anggota kelompok, maupun terhadap masyarakat. Sebaliknya konflik juga dapat membangun kekuatan yang konstruktif dalam hubungan kelompok. Konflik merupakan suatu sifat dan komponen yang penting dari proses kelompok, yang terjadi melalui cara-cara yang digunakan orang untuk berkomunikasi satu sama lain (Wahyu, 1986:158)
          Adapun faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya konflik. Coser memberikan perhatian terhadap asal muasal konflik sosial, sama seperti pendapat Simmel bahwa ada keagresifan atau permusuhan dalam diri seseorang, dan dia memperhatikan bahwa dalam hubungan intim dan tertutup, antara benci dan cinta hadir. Coser memberikan dua dasar yang melatarbelakangi terjadinya konflik:
a. Konflik realistis: memiliki sumber yang konkrit atau bersifat material, seperti perebutan sumber ekonomi atau wilayah. Jika mereka telah memperoleh sumber perebutan itu, dan bila dapat diperoleh tanpa perkelahian, maka konflik akan segera diatasi dengan baik.
b. Konflik non-realistis: konflik terjadi karena didorong oleh keinginan yang tidak rasional dan cenderung bersifat ideologis, konflik ini seperti konflik antar agama, antar etnis, dan konflik antar kepercayaan lainnya.
          Coser memberi perhatian pada adanya konflik eksternal yang mampu memperkuat identitas konflik. Ia menyatakan”konflik membuat batasan diantara dua kelompok”. Dalam sistem sosial dengan memperkuat kesadaran dan kesadaran kembali atas keterpisahan, sehingga menciptakan kesadaran identitas kelompok dalam sistem. Selain konflik eksternal, konflik internal memberi fungsi positif terhadap kelompok identitas mengenai adanya kesalahan perilaku, ada perilaku anggota yang dianggap menyimpang dari teks norma kelompok sehingga perlu dikoreksi oleh kelompok tersebut. Selain itu konflik internal merupakan mekanisme bertahan dari eksistensi suatu kelompok. (Novri Susan ,2009 : 54-56)
   Adapun bentuk-bentuk konflik yang akan menggambarkan persoalan sikap, perilaku dan situasi yang ada, antara lain:
a. Pada taraf di dalam diri seseorang Yaitu konflik yang menunjukkan adanya pertentangan, ketidakpastian, atau emosi-emosi dan dorongan-dorongan yang antagonis di dalam diri seseorang.
b. Pada taraf kelompok Konflik-konflik ditimbulkan dari konflik-konflik yang terjadi di dalam diri individu dari perbedaan-perbedaan pada para anggota kelompok dalam tujuan-tujuan, nilai dan norma, motivasi mereka untuk menjadi anggota kelompok, serta minat-minat mereka.
c. Pada taraf masyarakat Konflik bersumber pada perbedaan diantara nilai dan norma kelompok dengan nilai-nilai dan norma kelompok lain di dalam masyarakat tempat kelompok yang bersangkutan berada. Perbedaanperbedaan dalam tujuan, nilai dan norma serta minat.
Selain itu terdapat tipe-tipe konflik (Novri Susan, 2009:92-93) antara lain: tanpa konflik, konflik laten, konflik terbuka, dan konflik di permukaan.
a. Tanpa konflik: menggambarkan situasi yang relatif stabil, hubunganhubungan antar kelompok bisa saling memenuhi dan damai, tipe ini bukan berarti tidak ada konflik dalam masyarakat, akan tetapi ada kemungkinan atas situasi ini.
1) Pertama: Masyarakat mampu menciptakan struktur sosial yang bersifat mencegah ke arah politik kekerasan.
2) Kedua: sifat budaya yang memungkinkan anggota masyarakat menjauhi permusuhan dan kekerasan.
b. Konflik laten adalah suatu keadaan yang di dalamnya terdapat banyak persoalan, sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan agar biasa ditangani.
c. Konflik terbuka adalah situasi ketika konflik sosial telah muncul ke permukaan yang berakar dalam dan sangat nyata, serta memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan efeknya.
d. Konflik di permukaan memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sasaran, yang dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi































BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 HASIL
Hasil ini berisikan berita mengenai konflik di Singkil Aceh yang saya kutip dari berbagai situs di internet
TEMPO.CO, Banda Aceh - Satu gereja dilaporkan dibakar massa di Desa Suka Makmur, Gunung Meriah, Aceh Singkil, Aceh, Selasa, 13 Oktober 2015. Bentrok terjadi antarwarga dan diduga satu korban tewas.
"Belum ada laporan jelas kejadian yang terjadi. Kami sedang menelusurinya ke lokasi dan rumah sakit umum. Isunya ada korban,” kata Kepala Bagian Informasi dan Komunikasi Aceh Singkil Khaldum B.K. saat dihubungi Tempo.
Sumber Tempo di Singkil mengatakan kisruh diduga terjadi akibat desakan warga Muslim--penduduk mayoritas di wilayah itu--agar pemerintah setempat membongkar gereja tak berizin. Jika tuntutan itu tidak dipenuhi, warga akan membongkar sendiri. Atas desakan itu, Pemerintah Singkil menggelar rapat membahas masalah tersebut di kantor bupati. "Rapat berakhir sampai larut malam (Senin malam)," kata sumber yang enggan namanya dipublikasikan itu.
Selanjutnya, unsur Musyawarah Pimpinan Daerah Kabupaten Singkil memutuskan akan melakukan pembongkaran gereja sepekan lagi. Tapi, warga menentang keputusan tersebut. Mereka menginginkan pembongkaran gereja dilakukan Selasa ini.
Selasa siang, warga kemudian bergerak sendiri dan melakukan pembongkaran terhadap gereja yang ditengarai tak berizin itu, kemudian berakhir dengan bentrok. Polisi dan TNI dilaporkan berjaga-jaga di sejumlah lokasi untuk menghindari konflik meluas. Ketika hendak dimintai konfirmasi, Kepala Kepolisian Resor Aceh Singkil Ajun Komisaris Budi Samekto tidak mengangkat telepon selulernya. Pesan pendek yang dikirimkan Tempo juga belum dibalas.
      Sebelumnya, Pendeta Erde Berutu dari Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD), Aceh, mengatakan insiden bermula ketika massa pada Selasa, 13 Oktober 2015, mendatangi Gereja HKI Deleng Lagan, Kecamatan Gunung Meriah.
      Massa, yang diduga berasal dari daerah sekitar gereja, membakar rumah ibadah umat Nasrani itu. Setelah membakar Gereja HKI, massa dengan berbagai jenis kendaraan bak terbuka, yang diperkirakan berjumlah 700 orang itu, menuju sebuah gereja lagi yang terpaut 10 kilometer dari Gereja HKI, yaitu Gereja GKPPD Danggurun, Kecamatan Simpang Kanan.
Sesampainya di sana, massa tidak leluasa membakar karena sudah ada blokade dari petugas TNI dan Polri. Namun entah lewat mana, ada tiga orang yang lolos. Saat itulah terjadi bentrok dengan masyarakat Kristen.
Versi Erde, ada dua orang tewas.
 "Saya mendengar informasi, ada satu orang kita, Islam, meninggal," kata Pendeta Ende Berutu kepada Tempo, Selasa, 13 Oktober 2015. Situasi semakin mencekam, menyusul sweeping dari massa dan masyarakat di lintasan desa yang mayoritas Muslim. Korban kedua, kata Erde, seorang sopir mobil tangki minyak sawit beragama Kristen, yang baru kembali dari Medan ke Singkil, terkena razia masyarakat di Jembatan Desa Buluh Seuma, Kecamatan Suro. Sopir itu, kata Ende, dikabarkan meninggal (http://nasional.tempo.co/read/news/2015/10/13/058709143/gereja-dibakar-di-aceh-singkil-inilah-dugaan-penyebabnya)

* Pemerintah Aceh Didesak Turun Tangan
SINGKIL - Desakan penertiban gereja di Aceh Singkil terus bergulir. Sejumlah warga mendesak agar Pemerintah Aceh turun tangan mencari solusi untuk menghindari terjadinya konflik suku, ras dan agama (SARA) di wilayah itu. “Kami mendesak tim provinsi segera datang, karena Pemkab Aceh Singkil belum bertindak. Kalau ini dibiarkan sangat berbahaya, bisa terjadi pertumpahan darah,” kata Warman salah satu tokoh pemuda kepada Serambi, Minggu (11/10).
Seperti diketahui dalam unjuk rasa di halaman kantor bupati awal pekan lalu, Pemuda Peduli Islam (PPI) Aceh Singkil memberi batas waktu sampai Selasa 13 Oktober 2015 Pemkab harus menertibkan sejumlah bangunan gereja yang tidak berizin. Menurut Warman, ancaman itu harus ditanggapi serius. Sebab menurut informasi pada Sabtu 10 Oktober, sekitar pukul 13.00 WIB, perwakilan pemuda dan imam masjid serta beberapa tokoh dari seluruh Aceh Singkil telah menggelar pertemuan tertutup di Masjid Al Mukhlisin, Desa Lipat Kajang, Kecamatan Simpang Kanan..
Pertemuan yang mendapat penjagaan ketat dari warga itu, menyepakati jika sampai Selasa (13/10) Pemkab tidak menertibkan gereja tak berizin tersebut, maka massa akan membongkar sendiri. Sumber Serambi lainnya menyebutkan karena alotnya pertemuan, para peserta tidak diperkenankan menghidupkan telepon seluler. “Jika sampai Selasa tidak juga ada tindakan, maka masa yang akan membongkar gereja,” kata sumber Serambi yang ikut dalam pertemuan.
Selain itu dalam beberapa hari belakangan, muncul pesan singkat berantai yang mengajak warga melakukan pembongkaran gereja dengan titik kumpul di Simpang Tugu, Simpang Kanan Selasa hari ini. Massa juga diminta datang melengkapi diri dengan senjata tajam. Pemandangan ini menurut sejumlah pihak akan kembali membawa Aceh Singkil dalam pusaran konflik suku, ras dan agama (SARA).
                        Sekedar catatan, Aceh Singkil pernah didera konflik agama pada tahun 1979. Pemicunya adalah masalah bangunan rumah ibadah kaum nasrani. Sebagai kesepakatan perdamaian untuk mengahiri konflik, umat Islam dan tokoh agama nasrani menyepakati di daerah itu hanya diizinkan satu gereja dan empat undung-undung. Perjanjian tersebut kemudian diperbaharui tahun 2001. Namun sejak tiga tahun terakhir, umat islam berkali-kali melakukan protes karena pembangunan gereja bertambah dari kesepakatan. Puncaknya Selasa (6/10) lalu, massa yang menamakan diri Pemuda Peduli Islam (PPI) Aceh Singkil menggelar unjuk rasa di halaman kantor bupati (http://aceh.tribunnews.com/2015/10/12/singkil-diambang-konflik-sara)

3.      http://www.bbc.com
                 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mendesak kepolisian untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat di Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh, setelah sedikitnya satu orang meninggal dunia dan satu gereja dibakar massa. Imdadun Rahmat, selaku komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, mengatakan pengerahan kepolisian diperlukan mengingat konflik horizontal rawan terjadi.
“Bahkan, menurut laporan yang diterima Komnas HAM, telah terjadi eksodus dan pengungsian umat Kristen dari Kabupaten Aceh Singkil,” ujarnya.
Hal itu berlangsung setelah Gereja HKI di Kecamatan Gunung Meriah, Kabupaten Aceh Singkil dibakar ratusan massa, pada Selasa (13/10) siang.
Massa kemudian bertolak ke gereja lain di Kecamatan Simpang Kanan. Di lokasi tersebut terjadi perlawanan dari jemaat gereja sehingga terjadi kontak fisik yang mengakibatkan jatuhnya korban.
Aksi massa terjadi setelah sepekan sebelumnya, sebuah ormas mendesak pemerintah membongkar gereja-gereja tak berizin.
“Dari 19 gereja yang mengadu ke Komnas HAM, semuanya tidak memiliki izin. Setelah kami telusuri, ternyata secara keseluruhan 24 gereja tidak berizin,” kata Imdadun.
Komnas HAM lalu berupaya melakukan mediasi mengenai permasalahan izin pendirian rumah ibadah dengan menemui bupati Aceh Singkil dan para pihak terkait.
“Kala itu, pemerintah Kabupaten Singkil bersepakat mencari penyelesaian permanen dengan mengupayakan pemberian Izin Membangun Bangunan (IMB), dengan didahului verifikasi data pengguna dan pendukung sesuai peraturan menteri atau peraturan gubernur,” kata Imdadun.
Image copyright tribunnews.com Image caption Pembakaran gereja terjadi setelah sepekan sebelumnya, sebuah ormas mendesak pemerintah membongkar gereja-gereja tak berizin.
Imdadun mengatakan sebagian besar gereja-gereja di Kabupaten Singkil lalu sudah memenuhi persyaratan untuk mengajukan proses perizinan. “Tapi sudah keburu diganggu aksi kekerasan yang dipicu kelompok intoleran," katanya.
Pendeta Gereja Protestan Pakpak Dairi di Kabupaten Aceh Singkil, Erde Berutu, mengatakan pembakaran gereja di kabupaten tersebut pernah terjadi pada 1979.
Kemudian para pemuka agama Kristen diminta menandatangani pembatasan rumah ibadah sebanyak satu gereja dan empat undung-undung alias rumah ibadah kecil.
“Padahal, ada 24 gereja di Kabupaten Aceh Singkil, bahkan ada yang berdiri sebelum Indonesia merdeka. Tapi lalu ada pembentukan opini di luar seolah-olah gereja bertambah setiap tahun, seolah-olah kami yang bandel,” kata Erde kepada wartawan BBC Indonesia, Jerome Wirawan.
Kepala bagian humas Setda Aceh Singkil, Khaldul Berutu, membenarkan terjadinya peristiwa pembakaran tempat ibadah itu dan menyebutnya sebagai "insiden antarwarga" alih-alih konflik agama.Sementara itu, polisi belum memberikan keterangan mengenai pelakupembakaran. (http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/10/151013_indonesia_komnas_gereja_singkil)
JAKARTA, KOMPAS.com — Wakil Presiden Jusuf Kalla menyampaikan bahwa bentrokan antarwarga yang terjadi di Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh, berawal dari kesalahpahaman. Kalla mengaku telah berbicara dengan Gubernur Aceh Zaini Abdullah terkait bencana ini.
"Saya sudah bicara dengan Gubernur Aceh. Hari ini Kapolda ke sana, besok Panglima TNI ke sana. Memang ada kesalahpahaman di situ," kata Kalla di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (13/10/2015).
Ia pun berharap kesalahpahaman ini bisa segera diselesaikan aparat dan pejabat terkait. "Jadi mudah-mudahan bisa diselesaikan di situ, panglima, gubernur, kapolda, dia sudah ke sana," sambung Kalla.
Diberitakan sebelumnya, bentrokan antarwarga terjadi di Kabupaten Aceh Singkil, Aceh. Akibat bentrokan ini, seorang warga dikabarkan tewas dan empat orang lainnya menderita luka-luka.
Insiden ini dipicu pembakaran sebuah rumah yang dianggap tak memiliki izin untuk digunakan sebagai tempat ibadah. Sumber dari Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil menyebutkan, aksi terjadi sejak Senin (12/10/2015) tengah malam, setelah warga menilai Pemkab Aceh Singkil tidak mau memenuhi tuntutan untuk membongkar bangunan saat unjuk rasa dilakukan pada 6 Oktober 2015 lalu.
Menurut laporan kepolisian, bentrokan terjadi pada Selasa (13/10/2015) sekitar pukul 12.00 WIB. Bentrokan terjadi antara massa yang menamakan diri mereka Gerakan Pemuda Peduli Islam Aceh Singkil dan warga Desa Dangguran, Kecamatan Gunung Meriah, Kabupaten Aceh Singkil.
Kerusuhan berawal ketika sekelompok massa hendak menerobos barikade penjagaan ke bangunan yang dinamai Gereja HKI di Dusun Dangguran, Desa Kuta Lerangan, Kecamatan Simpang Kanan, Kabupaten Aceh Singkil.
Aksi massa penyerbu ini mendapatkan perlawanan dari warga Desa Dangguran sehingga berujung pada bentrokan. Akibatnya, tiga warga dan seorang personel TNI menderita luka-luka ringan, sementara satu warga bernama Samsul, warga Desa Buloh Sema, Kecamatan Suro, dikabarkan tewas.
Saat ini, personel kepolisian dan TNI terlihat berjaga ketat di beberapa titik Kecamatan Simpang Kanan setelah berhasil menghentikan bentrokan. Seusai menghentikan bentrokan, polisi menyita berbagai jenis senjata, seperti kapak, parang, bom molotov, bambu runcing, dan kelewang, serta tiga mobil Colt Diesel, tiga mobil Mitsubishi Carry bak terbuka, dan 20 sepeda motor yang diduga digunakan para penyerang.
Kapolres Aceh Singkil AKBP Budi Samekto tak memberikan banyak keterangan saat Kompas.com menghubunginya lewat telepon. Kapolres hanya menyebutkan, kepolisian sedang berupaya mengamankan suasana dan memerintahkan seluruh jajarannya untuk berjaga-jaga di Kecamatan Simpang Kanan.
Kerusuhan ini bisa cepat diredam sehingga tidak meluas dan mengganggu aktivitas warga. Sementara itu, suasana di ibu kota Kabupaten Singkil dilaporkan kondusif. Mahdi, seorang warga Pulo Sarok, Singkil, mengatakan, kegiatan sehari-hari warga berjalan normal, meski dia sempat mendengar soal kerusuhan.
"Iya, ada dengar kabar rusuh, tetapi kami di sini tak apa-apa," katanya.
Sebelumnya disebutkan, Pemkab Aceh Singkil memang berniat membongkar 24 rumah ibadah tanpa izin. Berdasarkan hasil pertemuan dan rapat yang dihadiri aparat pemerintah kabupaten, tokoh adat, dan tokoh agama, mereka sepakat bahwa 10 rumah ibadah tanpa izin akan dibongkar pada pekan depan. Untuk sisanya yang berjumlah 14 unit, para pengelola diberi kesempatan mengurus izin pendirian rumah ibadah. (http://nasional.kompas.com/read/2015/10/13/18233821/JK.Sebut.Bentrokan.di.Aceh.Singkil.karena.Kesalahpahaman)

3.2 PEMBAHASAN
3.2.1 Penyebab konflik Singkil Aceh
               Konflik mengandung suatu pengertian tingkah laku yang luas daripada yang biasa dibayangkan orang dengan mengartikannya sebagai pertentangan yang kasar dan perang. Dasar konflik berbeda-beda. Dalam  hal ini terdapat beberapa elemen dasar yang merupakan ciri-ciri dari situasi konflik, yaitu:
a. Terdapatnya dua unit atau lebih unit-unit atau bagian-bagian yang terlihat di dalam konflik.
b. Unit-unit tersebut mempunyai perbedaan-perbedaan yang tajam dalam kebutuhan-kebutuhan, tujuan-tujuan, masalah-masalah, nilai-nilai, sikap-sikap maupun gagasan-gagasan.
c. Terdapatnya interaksi di antara bagian-bagian yang mempunyai perbedaan-perbedaan tersebut.
d. Perbedaan kepentingan antar kelompok, serta keinginan untuk memenangkan kemauanya sendiri.
               Konflik bagi bangsa Indonesia tak dapat dielakkan karena bangsa Indonesia dilahirkan dalam kamajemukan yang penuh dengan sejarah konflik primordial yang berkepanjangan khususnya konflik horizontal. Terdapat tiga jenis konflik horizontal yang sering terjadi adalah :
(1) konflik antaragama
(2) konflik antar etnis (ras atau suku) atau konflik penduduk asli dan pendatang
(3) konflik antar pribumi dan nonpribumi (Husaini Usman, 2004: 224).
Konflik etnik tersebut memberi bukti bahwa kekokohan bangunan supra-struktur negara kebangsaan sangat rapuh. Ada dua faktor penyebab kerapuhan fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertama, doktrin ideologis ‘Bhineka Tunggal Ika’ telah diselewengkan oleh sebuah kekuatan yang berorientasi pada pemerintahan pusat. Akibatnya daerah-daerah kurang diberi kepercayaan untuk mengurus dirinya sendiri Kedua, Pembangunan yang dilakukan di atas sebuah komunitas plural lebih memaksakan pola yang berkarakteristik penyeragaman berbagai aspek sistem sosial, politik dan budaya. Akibatnya, jati diri sistem lokal dikesampingkan Terjadinya konflik yang benuansa SARA pada beberapa daerah di Indonesia, dari banyak studi yang dilakukan salah satu penyebabnya adalah, akibat dari lemahnya pemahaman dan pemaknaan tentang konsep kearipan budaya. Konflik akan muncul apabila tidak ada distribusi nilai yang adil kepada masyarakat. Terdapat perbedaan ras pada masyarakat menjadi penanda awal yang secara budaya sudah dilabelkan hambatanhambatannya, yakni prasangka rasial. Prasangka rasial ini sangat sensitif karena melibatkan sikap seseorang ataupun kelompok ras tertentu terhadap ras lain. Prasangka ini juga bisa muncul oleh situasi sosial, sejarah masa lalu, stereotipe dan etnosentrisme yang menjadi bagian dalam kebudayaan kelompok tertentu. Dengan kata lain dinamika dan perkembangan masyarakat Indonesia kedepan sangat dipengaruhi oleh hubunganhubungan antar etnis.
Terjadinya konflik yang benuansa SARA pada beberapa daerah di Indonesia, dari banyak studi yang dilakukan salah satu penyebabnya adalah, akibat dari lemahnya pemahaman dan pemaknaan tentang konsep kearifan budaya. Konflik akan muncul apabila tidak ada distribusi nilai yang adil kepada masyarakat. Terdapat perbedaan ras pada masyarakat menjadi penanda awal yang secara budaya sudah dilabelkan hambatanhambatannya, yakni prasangka rasial. Prasangka rasial ini sangat sensitif karena melibatkan sikap seseorang ataupun kelompok ras tertentu terhadap ras lain. Prasangka ini juga bisa muncul oleh situasi sosial, sejarah masa lalu, stereotipe dan etnosentrisme yang menjadi bagian dalam kebudayaan kelompok tertentu. Dengan kata lain dinamika dan perkembangan masyarakat Indonesia kedepan sangat dipengaruhi oleh hubungan-hubungan antar etnis.
Pada kasus konflik di Singkil Aceh ini penyebabnya adalah kesalahpahaman antara warga yang menuntut untuk pembongkaran tempat ibadah yang tidak memiliki ijin dengan pihak pemerintah dalam hal itu adalah bupati Singkil Aceh. Desakan warga masyarakat di wilayah itu--agar pemerintah setempat membongkar gereja tak berizin. Jika tuntutan itu tidak dipenuhi, warga akan membongkar sendiri. Atas desakan itu, Pemerintah Singkil menggelar rapat membahas masalah tersebut di kantor bupati. Rapat berakhir sampai larut malam (Senin malam). Selanjutnya, unsur Musyawarah Pimpinan Daerah Kabupaten Singkil memutuskan akan melakukan pembongkaran gereja sepekan lagi. Tapi, warga menentang keputusan tersebut. Mereka menginginkan pembongkaran gereja dilakukan Selasa ini.
Sedangkan menurut pihak kepolisian peristiwa di Singkil berawal dari adanya sekelompok warga yang meminta pemerintah setempat menertibkan tempat ibadah yang ada di wilayah Singkil. Sebab, menurut kesepakatan pada tahun 1979, jumlah rumah ibadah yang diperbolehkan hanyalah lima unit. Pemerintah setempat berencana membongkar rumah ibadah pada Selasa (13/10/2015).
Namun, kelompok warga itu tak sabar dan akhirnya menyerang rumah ibadah beserta warganya. Akibat bentrokan ini, seorang warga tewas, dan empat orang lainnya menderita luka-luka. Satu di antara korban luka adalah anggota TNI dari Kodim Singkil.

3.1.2 Tanggapan pemerintah atas kejadian konflik Singkil Aceh
Setelah kejadian konflik Singkil Aceh Wakil Presiden Jusuf Kalla langsung berkoordianasi dengan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Zaini Abdullah dan mengirimkan kapolda NAD untuk mengamankan lokasi konflik dan menenagkan masyarakat sehingga tidak menimbulkan kelanjutan konflik dan pada tanggal 14 oktober 2015 Panglima TNI ke lokasi konflik Singkil Aceh untuk meninjau lokasi dan melakukan pengamanan.
 Senada dengan TNI, Polri langsung melakukan tindakan dengan ada 20 orang yang diamankan dalam peristiwa bentrokan di Aceh Singkil, Selasa (13/10/2015). Mereka berasal dari kelompok warga yang menyerang dan membakar rumah ibadah di sana. Dari 20 orang yang ditangkap, polisi menyita sejumlah barang bukti, antara lain 20 sepeda motor pribadi, 3 mobil pick-up untuk mengangkut massa, 3 mobil Colt Diesel, serta sejumlah alat yang digunakan sebagai senjata berupa kapak, bambu runcing, kelewang, dan bom molotov.
Polisi mempunyai rekaman video bentrokan sekaligus proses pembakaran rumah yang dianggap tak memiliki izin untuk digunakan sebagai rumah ibadah. Polisi akan menjadikan video tersebut sebagai alat bukti untuk proses cek silang kedua puluh orang yang sudah diamankan serta pelaku lainnya

3.1.3 upaya untuk menyelesaikan masalah kerusuhan yang terjadi di Singkil Aceh
Upaya penyelesaikan masalah kerusuhan yang terjadi di Singkil Aceh diantaranya dengan melaksanakan pembangunan rumah ibadah umat beragama yang sudah diatur dengan pasti, baik dalam Surat Keputusan Bersama Dua Menteri tentang Rumah Ibadah, Peraturan Gubernur No 25/2007 tentang Izin Pendirian Rumah Ibadah di Aceh, maupun Qanun Aceh Singkil Nomor 2/2007 tentang Pendirian Rumah Ibadah.
Negara harus memenuhi UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 yang berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu”.
Untuk para pemuka agama tetap tenang dan jangan terpancing suasana ini begitu pula warga masyarakat Singkil Aceh tetap tenang, kedepankan rasa persaudaraan dan toleransi.






BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
Konflik atau kerusuhan di singkil Aceh sebenarnya muncul akibat terjadinya pertentangan mengenai penerapan nilai sosial yang ada di dalam sebuah masyarakat, karena ukuran benar salahnya suatu tindakan antar individu satu dengan individu yang lain berbeda-beda. Nilai-nilai sosial di Indonesia dilandaskan akan Pancasila, maka demi memunculkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia maka perlu diadakan musyawarah untuk mencapai sebuah mufakat.
Begitu juga tentang kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan pun tidak akan terwujud apabila Indonesia tidak cinta damai dan adanya integrasi antara kelompok satu dengan kelompok yang lainnya. Persatuan Indonesia juga tidak akan terwujud apabila manusia-manusia di Indonesia bukan manusia-manusia beradab, dan juga kemanusian yang adil dan beradab itu didasari oleh Ketuhanan yang Maha Esa. Demi mewujudkan kehidupan sosial yang didasarkan oleh pancasila sebagai sumber nilai bagi rakyat Indonesia maka kita harus memahami sila pertama dari pancasila tersebut yaitu Ketuhanan yang Maha Esa. (Iwan Gayo, H. M. 2007: 654).
Berbicara mengenai agama berarti berbicara tentang keyakinan seseorang terhadap Sang Pencipta atau Tuhan. Sebuah keyakinan muncul dari hati nurani dan setiap manusia mempunyai hati nurani serta setiap orang bebas menyakini hal tersebut yang menurut mereka sesuai dengan hati nurani. Agama dimunculkan bukan untuk membedakan-bedakan umat manusia ke dalam kotak-kotak tertentu, tetapi dibentuk agar di antara para penganut agama yang berbeda-beda tersebut mempunyai sikap toleransi.
Agama mendorong solidaritas sosial dengan mempersatukan orangorang beriman ke dalam sebuah komunitas yang memiliki nilai dan perpektif yang sama. Ajaran agama membantu manusia untuk menyesuaikan diri dengan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Agama juga dapat membantu manusia untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru, namun para fungsionalis juga mempelajari cara-cara agama dapat bersifat disfungsional, yaitu bagaimana agama dapat mengakibatkan kerusakan. Dua disfungsi itu adalah penyiksaan dan perang yang mendasarkan atas nama agama. Agama juga bisa menimbulkan konflik atau perpecahan di antara para pemeluk agama yang berbeda-beda (Henslin, James M. 2007: 164).
          Diketahui bahwa pada masing-masing agama menyebutkan Tuhannya masing-masing, seperti pada ajaran agama Budha disebut Budha Gautama, pada agama Hindu disebut Sang Hyang Widhi, pada agama Islam disebut Allah SWT, pada agama Kristen dan Katholik disebut sebagai Allah atau Bapa. Di dalam keyakinan yang bersifat kesukuan pun berbeda-beda, seperti orang Sunda menyebut Gusti, Suku Jawa menyebut Pangeran. Meskipun penyebutan Tuhan di masing-masing agama berbeda-beda bukan berarti bahwa Tuhan itu banyak. Disebutkan pada sila pertama Pancasila di dalam butir-butir Pancasila yaitu Ketuhanan yang Maha Esa. (Iwan Gayo, H. M. 2007: 654).

4.2  Saran
Saran yang saya berikan untuk dapat kasus singkil Aceh ini diantaranya :
1.      Kepada Pemerintah Pusat hendaknya menjamin kehidupan berumat dan beragama sesuai yang diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 yang berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu”.
2.      Untuk pemerintah daerah Nanggroe Aceh Darusalam (NAD) sebaiknya untuk pengecekan Surat ijin mendirikan bangunan atau di singkat IMB sebaiknya jangan hanya pada gereja saja tetapi pada tempat peribadatan lainnya seperti pura, klenteng, masjid, vihara sehingga tidak menimbulkan diskriminatif terhadap kaum minoritas.
3.      Untuk warga masyarakat Singkil Aceh pada khususnya dan masyarakat Aceh pada umumnya junjung tinggilah rasa persatuan, persaudaraan, toleransi dengan menngedepankan rasa kemanusiaan yang adil dan beradap. Jangan memandang kaum yng minoritas dengan sebelah mata.





DAFTARPUSTAKA

Daliman. 2012.  Metode Penelitian Sejarah. Yogyakarta : Ombak.
Echols, J.M, and Shadily, H. 1983. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta : Penerbit P.T. Gramedia.
Hanafi, Mahmud M.  1997. Manajemen .Jogjakarta : UUP AMP YKPN.
Handoko, T. Hani. 1984. Manajemen edisi II .Yogyakarta : BPFE.
George Ritzer dan Douglas J. Gooman, 2004.  Teori Sosiologi Moder. Jakarta : Prenada Media.
Isre, Moh. Soleh. 2003 . Konflik Etno Religius Indonesia Kontemporer. Jakarta: Departemen Agama RI.
Kartono, Kartini. 1998. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Mardianto, A. dkk. 2000. Penggunaan Manajemen Konflik Ditinjau Dari Status Keikutsertaan Dalam Mengikuti Kegiatan Pencinta Alam Di Universitas Gajah Mada. Jurnal Psikologi, No. 2
Soekanto, Soerjono.1992. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Rajawali Pers.
Soemitro, Ronny Hannitijo. 1998 Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta : Ghalia Indonesia. Cet. 1.
Susan, Novri. 2009. Sosiologi Konflik dan Isu-isu Kontemporer. Jakarta: Kencana.
Usman, A Rani. 2003. Sejarah Peradaban Aceh. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Wahyu. 1986. Wawasan Ilmu Sosial Dasar. (Surabaya: Usaha Nasional.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar