MAKALAH
STUDI
MASYARAKAT INDONESIA
MANAJEMEN KONFLIK DALAM MASYARAKAT MULTIKULTURAL
INDONESIA
“
KONFLIK PEMBAKARAN GEREJA DI SINGKIL ACEH”
Disusun sebagai tugas individu ( pengganti Ujian Tengah Semester)
Dosen Pengampu :
1.
Dr. Eko Handoyo,
M.Si.
2.
Drs. Setiajid M.Si.
3. Novi Wahyu Wardhani S.Pd., M.Pd.
Disusun Oleh :
Dani
Prasetyo (
3301414104 )
PENDIDIKAN
PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
JURUSAN
POLITIK DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS
ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS
NEGERI SEMARANG
2015
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya bisa menyelesaikan makalah dengan judul MANAJEMEN KONFLIK DALAM MASYARAKAT MULTIKULTURAL INDONESIA “ KONFLIK
PEMBAKARAN GEREJA DI SINGKIL ACEH” yang disusun sebagai
tugas individu dan penganti ujian tengah semester mata kuliah Setudi Masyarakat
Indonesia dalam waktu yang telah ditentukan.
Adanya makalah ini diharapkan
dapat membantu pembaca sehingga dapat memahami menejemen konflik dalam
masyarakat multikultural , penyelesaian atau cara mengatasi konflik dalam
masyarakat multikultural.
Ucapan
terima kasih saya sampaikan kepada Bapak Dr. Eko Handoyo, M.Si., Bapak Drs. Setiajid M.Si.
dan Ibu Novi .selaku dosen pengampu mata kuliah Studi masyarakat
Indonesia yang telah memberikan materi serta masukannya terhadap materi serta semua
pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Makalah ini saya susun dengan
semaksimal mungkin, namun saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, baik dari segi fisik maupun isi. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari pembaca.
Semarang, 13 Oktober 2015
Penulis
DAFTAR
ISI
Halaman sampul ........................................................................................i
Kata
pengantar......................................................................................... ii
Daftar isi.................................................................................................. iii
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
belakang................................................................................... 1
1.2 Rumusan
masalah............................................................................... 2
1.3 Tujuan................................................................................................ 2
1.4 Metode
Penulisan .............................................................................. 2
BAB
II
KAJIAN
PUSTAKA
2.1 Manajemen ........................................................................................ 4
2.2 Konflik................................................................................................ 8
BAB
III
HASIL
DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil................................................................................................... 10
3.2 Pembahasan....................................................................................... 16
BAB
IV
PENUTUP
4.1 Simpulan ........................................................................................... 20
4.2 Saran ................................................................................................ 21
DAFTARPUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG
Masyarakat Indonesia sangatlah beragam
dan multikultural baik dalam hal budaya maupun dalam sistem kepercayaan. Hal
ini dibuktikan dengan banyaknya keanekaragaman dalam kebudayaan, ras, suku
bangsa, bahasa, dan agama. Perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat di
Indonesia, tersebar di seluruh pulau yang dimiliki oleh Negara Republik
Indonesia. Masyarakat yang heterogen akan mengalami hal-hal yang berbeda-beda dalam
kehidupan sehari-hari, seperti, bertutur kata, cara berbusana, tata cara peribadatan
antar agama satu dengan agama yang lain.
Aceh merupakan provinsi yang terletak di ujung
Pulau Sumatra dan paling barat kepulauan nusantara. Aceh yang dikenal dengan
nama lain Serambi Mekkah adalah wilayah yang unik dari segi budaya dan kultur.
Aceh bukanlah wilayah yang homogen, tetapi heterogen karena masyarakat
Aceh dari segi suku bangsanya memiliki keunikan tersendiri, karena
menggambarkan suatu integrasi etnik atau campuran etnik yang akhirnya menjadi
etnik baru yang disebut Aceh. Etnik Aceh diduga berasal dari India dan Timur
Tengah, memiliki kemiripan dengan etnik Melayu yang hidup di Nusantara maupun
di Semenanjung Melayu lainnya (
A. Rani Usman, 2003: 7 ).
Aceh merupakan daerah kaya akan sumber daya
alam dan mineral, terutama gas dan minyak bumi, serta hasil hutan dan lautan.
Daerah yang terletak di utara Pulau Sumatera ini terdiri dari 119 pulau, 35
gunung, dan 73 sungai dengan luas wilayah 57.365,57 kilometer persegi ( Moh.
Soleh Isre ,2003 :103 ) .
Masyarakat Nanggro Aceh Darussalam khususnya
di Kabupaten Singkil merupakan salah satu masyarakat yang terbentuk dari sebuah
masyarakat yang multikultural khususnya dalam hal kepercayaan. Selama ini
mereka hidup berdampingan dengan rukun satu sama lain sebelum terjadinya kerusuhan
di Singkil pada tanggal 13 Oktober 2015.
Konflik atau kerusuhan Singkil Aceh
sebenarnya muncul akibat terjadinya pertentangan mengenai penerapan nilai
sosial yang ada di dalam sebuah masyarakat, karena ukuran benar salahnya suatu
tindakan antar individu satu dengan individu yang lain berbeda-beda.
Nilai-nilai sosial di Indonesia dilandaskan akan Pancasila, maka demi
memunculkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia maka perlu diadakan
musyawarah untuk mencapai sebuah mufakat.
1.2 RUMUSAN
MASALAH
Alasan yang
melatarbelakangi disusunnya makalah ini adalah karena adanya pertanyaan-pertanyaan
yang muncul dibenak penyusun, yang penyusun
sebut sebagai rumusan masalah. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Apa yang menyebabkan konflik di singkil Aceh ??
2. Bagaimana tangapan pemerintah setelah kejadian
tersebut ?
3. Bagaimana upaya untuk menyelesaikan masalah
kerusuhan yang terjadi di Singkil Aceh tersebut ?
1.3 TUJUAN
Sebagaimana yang
ada di dalam rumusan masalah yang memuat beberapa pertanyaan mengenai materi
yang dibahas dalam makalah ini, maka disinipun tidak akan jauh berbeda dengan
tujuan dari penyusunan makalah ini yaitu adalah untuk 1. mengetahui penyebab konflik di singkil Aceh
2. mengetahui tangapan pemerintah setelah kejadian
tersebut
3. memberikan saran atau solusi untuk menyelesaikan
masalah kerusuhan yang terjadi di Singkil Aceh tersebut
1.4 METODE
PENULISAN
bahwa
penelitian sesungguhnya sebagian kecil terdiri dari teknik dan sebagian besar merupakan
penalaran. Melalui penelitian semakin jernih jalan pemecahan yang dapat
ditempuh. Di mulai dengan pengenalan masalah, kemudian sampai pada hipotesa dan
akhirnya penarikan kesimpulan. Proses itu semua adalah proses berpikir, baik
secara induktif, secara deduktif maupun perpaduan di antara keduanya.
Penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang berpaya untuk memperoleh pemecahan
suatu masalah. Oleh karena itu, penelitian sebagai sarana dalam pengembangan
ilmu pengetahuan adalah bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis,
analisis, dan konstruktif terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah (Ronny
Hannitijo Soemitro,1998: 44)
Metode yang digunakan dalam penyusunan
makalah ini yaitu metode penelitian hukum normatif (Library Research)
adalah penelitian yang mengacu pada buku-buku dan literatur-literatur yang
berhubungan dengan judul penelitian.
Sumber
sejarah primer adalah sumber sejarah yang direkam dan dilaporkan oleh para
saksi mata. Data-data dicatat dan dilaporkan oleh pengamat atau partisipan yang
benar-benar mengalami dan menyaksikan suatu peristiwa sejarah (Daliman ,2012:
55). Sumber primer bisa berupa dokumen
sejaman, arsip, surat kabar, rekaman peristiwa atau wawancara dengan pelaku
sejarah. Sumber primer yang digunakan dalam makalah ini yakni:
Usman A Rani,
2003, Sejarah Peradaban Aceh. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Isre
Moh. Soleh, 2003, Konflik Etno Religius Indonesia Kontemporer. Jakarta:
Departemen Agama RI,
Sumber
sejarah sekunder disampaikan bukan oleh yang menyaksikan atau partisipan suatu
peristiwa sejarah. Penulis sumber sekunder bukanlah orang yang hadir dan
menyaksikan sendiri suatu peristiwa, namun hanya melaporkan apa yang terjadi
berdasarkan kesaksian (Daliman ,2012: 55).
Sumber sekunder misalnya buku pendukung yang berkaitan dengan
pengetahuan Aceh.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 MANAJEMEN
Istilah
manajemen berasal dari bahasa Italia Maneggiare (Haney dalam Mardianto,
2000) yang berarti melatih kuda-kuda atau secara harfiah to handle yang berarti
mengendalikan, sedangkan dalam kamus Inggris Indonesia (Echols dan Shadily,
2000) management berarti pengelolaan dan istilah manager berarti
tindakan membimbing atau memimpin, sedangkan dalam bahasa Cina, manajemen
adalah kuan lee yang berasal dari dua kata yaitu kuan khung (mengawasi
orang kerja) dan lee chai (menmanajemen konfliksi uang) (Mardianto,
2000).
Manajemen dapat didefinisikan melalui
banyak cara. Mary Parker Follet, salah satu tokoh ilmu manajemen, sebagaimana
dikutip oleh Mahmud M. Hanafi mendefinisikan manajemen sebagai seni mencapai sesuatu
melalui orang lain. Dengan definisi tersebut, manajemen tidak menghendaki seseorang
untuk bekerja sendiri, tetapi bekerja sama dengan orang lain untuk mencapai
tujuan tertentu (Mahmud M. Hanafi, 1997
:6).
Manajemen adalah proses perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan usaha-usaha para anggota
organisasi dan penggunaan sumberdaya-sumberdaya lainnya agar mencapai tujuan
yang telah ditetapkan (T. Hani Handoko,1984:9).
Definisi lain menyebutkan bahwa
manajemen adalah ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia
dan sumber-sumber daya lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai suatu
tujuan tertentu (Malayu Hasibuan,)
Melihat dari beberapa pengertian
manajemen di atas, serta kenyataan bahwa manajemen itu ilmu sekaligus seni maka
manajemen itu dapat diberi definisi sebagai seni dan ilmu perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan dari sumber daya manusia untuk
mencapai tujuan yang sudah ditetapkan terlebih dahulu
Menurut kamus besar bahasa Indonesia (1997)
manajemen adalah proses penggunaan sumber daya secara efektif dan efisien untuk
Mencapai Spiritual tujuan. Manajemen merupakan proses penting yang menggerakkan
organisasi karena tanpa manajemen yang efektif tidak akan ada usaha yang
berhasil cukup lama.
Faktor manusia dalam manajemen merupakan
unsur terpenting sehingga berhasil atau tidaknya suatu manajemen untuk
mendorong dan menggerakkan orang-orang kearah tujuan yamg akan dicapai
sangatlah tergantung pada sumber daya manusia masing-masing. Selain unsur
manusia juga ada unsur barang, mesin, metode, dan cara berfikir yang berbeda.
Dalam hal ini unsur-unsur manajemen berupa dana dan sumber daya alam berapapun jumlahnya
akan selalu terbatas. Oleh karena itu seorang pemimpin atau pendidik harus
menggunakannya secara efisien.
Sehingga manajemem dapat didefinisikan
sebagai mengawasi/mengatur orang bekerja dan menmanajemen konfliksi
administrasi dengan baik. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa manajemen adalah sebuah tindakan yang berhubungan dengan
usaha tertentu dan penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai Spiritual
tujuan.
Manajemen konflik ,sama
seperti istilah yang berasosiasi dengan istilah ini, yaitu regulasi konflik,
sering kali digunakan sebagai istilah generic untuk meliputi seluruh penanganan
konflik secara positif, tetapi istlah ini digunakan untuk merujuk pada
pembatasan, pelonggaran dan isolasi konflik dengan kekerasan.(Miall
Huge,dkk,2002:30)
Manajemen konflik dapat didefinisikan
sebagai segala seni pengaturan atau pengelolaan berbagai konflik maupunn
pertentangan yang ada untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan. Apakah
tujuan tersebut berupa akomodasi, dominasi atau kemenangan suatu pihak.
Manajemen konflik atau pertentangan juga diartikan sebagai kemampuan dalam
mengendalikan ambiguitas dan paradoks yang terjadi dalam suatu konflik. Dalam
penelitian yang telah dilakukan konflik atau pertentangan yang akan dikelola
adalah konflik yang ada pada diri masing-masing mahasiswa berdasarkan karakteristiknya
maupun konflik yang terjadi antar personal dalam suatu kelas perkuliahan.
2.2 KONFLIK
Setelah
memahami pengertian manajemen, selanjutnya adalah pengertian konflik. Menurut
kamus bahasa Indonesia (1997), konflik berati percekcokan, pertentangan, atau
perselisihan. Konflik juga berarti adanya oposisi atau pertentangan pendapat
antara orang-orang atau kelompok-kelompok. Setiap hubungan antar pribadi
mengandung unsur-unsur konflik, pertentangan pendapat, atau perbedaan
kepentingan.
Kata konflik mengandung banyak pengertian. Ada pengertian yang negatif,
konflik dikaitkan dengan: sifat-sifat kekerasan dan penghancuran. Dalam
pengertian positif, konflik dihubungkan dengan peristiwa: hal-hal baru,
pertumbuhan, perkembangan, dan perubahan. Sedangkan dalam pengertian yang
netral, konflik diartikan sebagai: akibat biasa dari keanekaragaman individu
manusia dengan sifat-sifat yang berbeda, dan tujuan hidup yang tidak sama pula (Kartini
Kartono, 1998: 213)
Konflik adalah fenomena sosial yang
selalu saja terjadi dalam kehidupan setiap komunitas dan konflik tidak dapat
dimusnahkan atau dihindari (Dahrendrof dalam Stokhof W.A.L. dan Murni
Djamal,2003;115). Sedangkan Menurut Johnson (Supratiknya, 1995) konflik adalah
situasi dimana tindakan salah satu pihak berakibat menghalangi, menghambat atau
mengganggu tindakan pihak lain. Kendati unsur konflik selalu terdapat setiap
bentuk hubungan antar pribadi, pada umumnya masyarakat memandang konflik
sebagai
Sedangkan menurut Soerjono
Soekanto, Konflik adalah pertentangan atau pertikaian suatu proses yang
dilakukan orang atau kelompok manusia guna memenuhi tujuannya dengan jalan
menentang pihak lawan yang disertai ancaman dan kekerasan. Oleh karena itu
konflik diidentikkan dengan tindakan kekerasan. (Soerjono Soekanto, 1992:86)
Konflik menurut Karl Marx, hakikat
kenyataan sosial adalah konflik. Konflik adalah satu kenyataan sosial yang bisa
ditemukan dimana-mana. Bagi karl Marx, konflik sosial adalah pertentangan
antara segmen-segmen masyarakat untuk memperebutkan aset-aset yang bernilai. Jenis
dari konflik sosial ini bisa bermacam-macam yakni konflik antar individu,
konflik antar kelompok, dan bahkan konflik antar bangsa. Tetapi bentuk konflik
yang paling menonjol menurut Karl Marx, adalah konflik yang disebabkan oleh
cara produksi barang-barang material (George
Ritzer dan Douglas J. Gooman, 2004:73)
Sedangkan menurut Pruitt dan Rubin,
“konflik adalah persepsi mengenai perbedaan kepentingan. (Perceived divergence
of interest) atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik
tidak dicapai secara simultan”. Jika memahami konflik adalah persepsi, aspirasi
dan aktor yang terlibat di dalamnya. Artinya di dalam dunia sosial yang
ditemukan persepsi, maka akan ditemukan pula aspirasi dan aktor. Konflik bisa
muncul pada skala yang berbeda seperti konflik antar orang (interpersonal
conflict), konflik antar kelompok (intergroup conflict), dan konflik
antar negara (interstate conflict).
Setiap skala memiliki latar belakang
dan arah perkembangannya, manusia di dunia ini pada dasarnya memiliki sejarah
konflik dalam skala antar perorangan sampai antar negara. Konflik yang bisa
dikelola secara arif dan bijaksana akan mendominasi proses sosial dan bersifat
konstruktif bagi perubahan sosial masyarakat dan tidak menghadirkan kekerasan.
Namun dalam catatan sejarah masyarakat dunia, konflik sering diikuti oleh
bentuk-bentuk kekerasan, seperti perang dan pembantaian (Novri Susan, 2009 : 5-6)
Istilah konflik cenderung
menimbulkan respon-respon yang bernada ketakutan dan kebencian, padahal konflik
itu sendiri merupakan suatu unsur yang sangat penting dalam pengembangan dan
perbuatan. Konflik juga dapat memberikan akibat yang merusak terhadap diri
seseorang, anggota kelompok, maupun terhadap masyarakat. Sebaliknya konflik
juga dapat membangun kekuatan yang konstruktif dalam hubungan kelompok. Konflik
merupakan suatu sifat dan komponen yang penting dari proses kelompok, yang
terjadi melalui cara-cara yang digunakan orang untuk berkomunikasi satu sama
lain (Wahyu, 1986:158)
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan
timbulnya konflik. Coser memberikan perhatian terhadap asal muasal konflik
sosial, sama seperti pendapat Simmel bahwa ada keagresifan atau permusuhan
dalam diri seseorang, dan dia memperhatikan bahwa dalam hubungan intim dan tertutup,
antara benci dan cinta hadir. Coser memberikan dua dasar yang melatarbelakangi
terjadinya konflik:
a. Konflik
realistis: memiliki sumber yang konkrit atau bersifat material, seperti
perebutan sumber ekonomi atau wilayah. Jika mereka telah memperoleh sumber perebutan
itu, dan bila dapat diperoleh tanpa perkelahian, maka konflik akan segera
diatasi dengan baik.
b. Konflik
non-realistis: konflik terjadi karena didorong oleh keinginan yang tidak
rasional dan cenderung bersifat ideologis, konflik ini seperti konflik antar
agama, antar etnis, dan konflik antar kepercayaan lainnya.
Coser memberi perhatian pada adanya
konflik eksternal yang mampu memperkuat identitas konflik. Ia
menyatakan”konflik membuat batasan diantara dua kelompok”. Dalam sistem sosial
dengan memperkuat kesadaran dan kesadaran kembali atas keterpisahan, sehingga
menciptakan kesadaran identitas kelompok dalam sistem. Selain konflik
eksternal, konflik internal memberi fungsi positif terhadap kelompok identitas mengenai
adanya kesalahan perilaku, ada perilaku anggota yang dianggap menyimpang dari
teks norma kelompok sehingga perlu dikoreksi oleh kelompok tersebut. Selain itu
konflik internal merupakan mekanisme bertahan dari eksistensi suatu kelompok. (Novri
Susan ,2009 : 54-56)
Adapun bentuk-bentuk konflik yang akan
menggambarkan persoalan sikap, perilaku dan situasi yang ada, antara lain:
a. Pada taraf di dalam diri seseorang Yaitu
konflik yang menunjukkan adanya pertentangan, ketidakpastian, atau emosi-emosi
dan dorongan-dorongan yang antagonis di dalam diri seseorang.
b. Pada taraf kelompok Konflik-konflik
ditimbulkan dari konflik-konflik yang terjadi di dalam diri individu dari
perbedaan-perbedaan pada para anggota kelompok dalam tujuan-tujuan, nilai dan
norma, motivasi mereka untuk menjadi anggota kelompok, serta minat-minat
mereka.
c. Pada taraf masyarakat Konflik
bersumber pada perbedaan diantara nilai dan norma kelompok dengan nilai-nilai
dan norma kelompok lain di dalam masyarakat tempat kelompok yang bersangkutan
berada. Perbedaanperbedaan dalam tujuan, nilai dan norma serta minat.
Selain itu terdapat tipe-tipe konflik (Novri
Susan, 2009:92-93) antara lain: tanpa konflik, konflik laten, konflik terbuka,
dan konflik di permukaan.
a. Tanpa konflik: menggambarkan situasi
yang relatif stabil, hubunganhubungan antar kelompok bisa saling memenuhi dan
damai, tipe ini bukan berarti tidak ada konflik dalam masyarakat, akan tetapi
ada kemungkinan atas situasi ini.
1) Pertama: Masyarakat mampu menciptakan
struktur sosial yang bersifat mencegah ke arah politik kekerasan.
2) Kedua: sifat budaya yang memungkinkan
anggota masyarakat menjauhi permusuhan dan kekerasan.
b. Konflik laten adalah suatu keadaan
yang di dalamnya terdapat banyak persoalan, sifatnya tersembunyi dan perlu
diangkat ke permukaan agar biasa ditangani.
c. Konflik terbuka adalah situasi ketika
konflik sosial telah muncul ke permukaan yang berakar dalam dan sangat nyata,
serta memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan efeknya.
d. Konflik di permukaan memiliki akar
yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai
sasaran, yang dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 HASIL
Hasil ini berisikan
berita mengenai konflik di Singkil Aceh yang saya kutip dari berbagai situs di
internet
TEMPO.CO, Banda Aceh -
Satu gereja dilaporkan dibakar massa di Desa Suka Makmur, Gunung Meriah, Aceh
Singkil, Aceh, Selasa, 13 Oktober 2015. Bentrok terjadi antarwarga dan diduga
satu korban tewas.
"Belum ada laporan
jelas kejadian yang terjadi. Kami sedang menelusurinya ke lokasi dan rumah
sakit umum. Isunya ada korban,” kata Kepala Bagian Informasi dan Komunikasi
Aceh Singkil Khaldum B.K. saat dihubungi Tempo.
Sumber Tempo di Singkil mengatakan kisruh diduga terjadi akibat desakan warga Muslim--penduduk mayoritas di wilayah itu--agar pemerintah setempat membongkar gereja tak berizin. Jika tuntutan itu tidak dipenuhi, warga akan membongkar sendiri. Atas desakan itu, Pemerintah Singkil menggelar rapat membahas masalah tersebut di kantor bupati. "Rapat berakhir sampai larut malam (Senin malam)," kata sumber yang enggan namanya dipublikasikan itu.
Selanjutnya, unsur Musyawarah Pimpinan Daerah Kabupaten Singkil memutuskan akan melakukan pembongkaran gereja sepekan lagi. Tapi, warga menentang keputusan tersebut. Mereka menginginkan pembongkaran gereja dilakukan Selasa ini.
Sumber Tempo di Singkil mengatakan kisruh diduga terjadi akibat desakan warga Muslim--penduduk mayoritas di wilayah itu--agar pemerintah setempat membongkar gereja tak berizin. Jika tuntutan itu tidak dipenuhi, warga akan membongkar sendiri. Atas desakan itu, Pemerintah Singkil menggelar rapat membahas masalah tersebut di kantor bupati. "Rapat berakhir sampai larut malam (Senin malam)," kata sumber yang enggan namanya dipublikasikan itu.
Selanjutnya, unsur Musyawarah Pimpinan Daerah Kabupaten Singkil memutuskan akan melakukan pembongkaran gereja sepekan lagi. Tapi, warga menentang keputusan tersebut. Mereka menginginkan pembongkaran gereja dilakukan Selasa ini.
Selasa siang, warga
kemudian bergerak sendiri dan melakukan pembongkaran terhadap gereja yang
ditengarai tak berizin itu, kemudian berakhir dengan bentrok. Polisi dan TNI
dilaporkan berjaga-jaga di sejumlah lokasi untuk menghindari konflik meluas. Ketika
hendak dimintai konfirmasi, Kepala Kepolisian Resor Aceh Singkil Ajun Komisaris
Budi Samekto tidak mengangkat telepon selulernya. Pesan pendek yang dikirimkan Tempo juga
belum dibalas.
Sebelumnya, Pendeta Erde Berutu dari Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD), Aceh, mengatakan insiden bermula ketika massa pada Selasa, 13 Oktober 2015, mendatangi Gereja HKI Deleng Lagan, Kecamatan Gunung Meriah.
Massa, yang diduga berasal dari daerah sekitar gereja, membakar rumah ibadah umat Nasrani itu. Setelah membakar Gereja HKI, massa dengan berbagai jenis kendaraan bak terbuka, yang diperkirakan berjumlah 700 orang itu, menuju sebuah gereja lagi yang terpaut 10 kilometer dari Gereja HKI, yaitu Gereja GKPPD Danggurun, Kecamatan Simpang Kanan.
Sesampainya di sana, massa tidak leluasa membakar karena sudah ada blokade dari petugas TNI dan Polri. Namun entah lewat mana, ada tiga orang yang lolos. Saat itulah terjadi bentrok dengan masyarakat Kristen.
Versi Erde, ada dua orang tewas.
Sebelumnya, Pendeta Erde Berutu dari Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD), Aceh, mengatakan insiden bermula ketika massa pada Selasa, 13 Oktober 2015, mendatangi Gereja HKI Deleng Lagan, Kecamatan Gunung Meriah.
Massa, yang diduga berasal dari daerah sekitar gereja, membakar rumah ibadah umat Nasrani itu. Setelah membakar Gereja HKI, massa dengan berbagai jenis kendaraan bak terbuka, yang diperkirakan berjumlah 700 orang itu, menuju sebuah gereja lagi yang terpaut 10 kilometer dari Gereja HKI, yaitu Gereja GKPPD Danggurun, Kecamatan Simpang Kanan.
Sesampainya di sana, massa tidak leluasa membakar karena sudah ada blokade dari petugas TNI dan Polri. Namun entah lewat mana, ada tiga orang yang lolos. Saat itulah terjadi bentrok dengan masyarakat Kristen.
Versi Erde, ada dua orang tewas.
"Saya
mendengar informasi, ada satu orang kita, Islam, meninggal," kata Pendeta
Ende Berutu kepada Tempo, Selasa, 13 Oktober 2015. Situasi semakin
mencekam, menyusul sweeping dari massa dan masyarakat di lintasan desa
yang mayoritas Muslim. Korban kedua, kata Erde, seorang sopir mobil tangki
minyak sawit beragama Kristen, yang baru kembali dari Medan ke Singkil, terkena
razia masyarakat di Jembatan Desa Buluh Seuma, Kecamatan Suro. Sopir itu, kata
Ende, dikabarkan meninggal (http://nasional.tempo.co/read/news/2015/10/13/058709143/gereja-dibakar-di-aceh-singkil-inilah-dugaan-penyebabnya)
* Pemerintah
Aceh Didesak Turun Tangan
SINGKIL - Desakan penertiban gereja di Aceh Singkil terus bergulir.
Sejumlah warga mendesak agar Pemerintah Aceh turun tangan mencari solusi untuk
menghindari terjadinya konflik suku, ras dan agama (SARA) di wilayah itu. “Kami
mendesak tim provinsi segera datang, karena Pemkab Aceh Singkil belum
bertindak. Kalau ini dibiarkan sangat berbahaya, bisa terjadi pertumpahan
darah,” kata Warman salah satu tokoh pemuda kepada Serambi, Minggu (11/10).
Seperti diketahui dalam unjuk rasa di halaman kantor bupati awal pekan
lalu, Pemuda Peduli Islam (PPI) Aceh Singkil memberi batas waktu sampai Selasa
13 Oktober 2015 Pemkab harus menertibkan sejumlah bangunan gereja yang tidak
berizin. Menurut Warman, ancaman itu harus ditanggapi serius. Sebab menurut
informasi pada Sabtu 10 Oktober, sekitar pukul 13.00 WIB, perwakilan pemuda dan
imam masjid serta beberapa tokoh dari seluruh Aceh Singkil telah menggelar
pertemuan tertutup di Masjid Al Mukhlisin, Desa Lipat Kajang, Kecamatan Simpang
Kanan..
Pertemuan yang mendapat penjagaan ketat dari warga itu, menyepakati jika
sampai Selasa (13/10) Pemkab tidak menertibkan gereja tak berizin tersebut,
maka massa akan membongkar sendiri. Sumber Serambi lainnya menyebutkan karena
alotnya pertemuan, para peserta tidak diperkenankan menghidupkan telepon
seluler. “Jika sampai Selasa tidak juga ada tindakan, maka masa yang akan
membongkar gereja,” kata sumber Serambi yang ikut dalam pertemuan.
Selain itu dalam beberapa hari belakangan, muncul pesan singkat berantai
yang mengajak warga melakukan pembongkaran gereja dengan titik kumpul di
Simpang Tugu, Simpang Kanan Selasa hari ini. Massa juga diminta datang
melengkapi diri dengan senjata tajam. Pemandangan ini menurut sejumlah pihak
akan kembali membawa Aceh Singkil dalam pusaran konflik suku, ras dan agama
(SARA).
Sekedar catatan,
Aceh Singkil pernah didera konflik agama pada tahun 1979. Pemicunya adalah
masalah bangunan rumah ibadah kaum nasrani. Sebagai kesepakatan perdamaian
untuk mengahiri konflik, umat Islam dan tokoh agama nasrani menyepakati di
daerah itu hanya diizinkan satu gereja dan empat undung-undung. Perjanjian
tersebut kemudian diperbaharui tahun 2001. Namun sejak tiga tahun terakhir,
umat islam berkali-kali melakukan protes karena pembangunan gereja bertambah
dari kesepakatan. Puncaknya Selasa (6/10) lalu, massa yang menamakan diri
Pemuda Peduli Islam (PPI) Aceh Singkil menggelar unjuk rasa di halaman kantor bupati (http://aceh.tribunnews.com/2015/10/12/singkil-diambang-konflik-sara)
Hal itu
berlangsung setelah Gereja HKI di Kecamatan Gunung Meriah,
Kabupaten Aceh Singkil dibakar ratusan massa, pada Selasa (13/10)
siang.
Massa kemudian
bertolak ke gereja lain di Kecamatan Simpang Kanan. Di lokasi tersebut terjadi
perlawanan dari jemaat gereja sehingga terjadi kontak fisik yang mengakibatkan
jatuhnya korban.
Aksi massa
terjadi setelah sepekan sebelumnya, sebuah ormas mendesak pemerintah membongkar
gereja-gereja tak berizin.
“Dari 19
gereja yang mengadu ke Komnas HAM, semuanya tidak memiliki izin. Setelah kami
telusuri, ternyata secara keseluruhan 24 gereja tidak berizin,” kata Imdadun.
Komnas HAM
lalu berupaya melakukan mediasi mengenai permasalahan izin pendirian rumah
ibadah dengan menemui bupati Aceh Singkil dan para pihak terkait.
“Kala itu,
pemerintah Kabupaten Singkil bersepakat mencari penyelesaian permanen dengan
mengupayakan pemberian Izin Membangun Bangunan (IMB), dengan didahului
verifikasi data pengguna dan pendukung sesuai peraturan menteri atau peraturan
gubernur,” kata Imdadun.
Image
copyright
tribunnews.com Image caption
Imdadun
mengatakan sebagian besar gereja-gereja di Kabupaten Singkil lalu sudah
memenuhi persyaratan untuk mengajukan proses perizinan. “Tapi sudah keburu
diganggu aksi kekerasan yang dipicu kelompok intoleran," katanya.
Pendeta Gereja
Protestan Pakpak Dairi di Kabupaten Aceh Singkil, Erde Berutu, mengatakan
pembakaran gereja di kabupaten tersebut pernah terjadi pada 1979.
Kemudian para
pemuka agama Kristen diminta menandatangani pembatasan rumah ibadah sebanyak
satu gereja dan empat undung-undung alias rumah ibadah kecil.
“Padahal, ada
24 gereja di Kabupaten Aceh Singkil, bahkan ada yang berdiri sebelum Indonesia
merdeka. Tapi lalu ada pembentukan opini di luar seolah-olah gereja bertambah
setiap tahun, seolah-olah kami yang bandel,” kata Erde kepada wartawan BBC
Indonesia, Jerome Wirawan.
Kepala bagian
humas Setda Aceh Singkil, Khaldul Berutu, membenarkan terjadinya peristiwa
pembakaran tempat ibadah itu dan menyebutnya sebagai "insiden
antarwarga" alih-alih konflik agama.Sementara itu, polisi belum memberikan
keterangan mengenai pelakupembakaran. (http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/10/151013_indonesia_komnas_gereja_singkil)
JAKARTA,
KOMPAS.com — Wakil Presiden Jusuf Kalla menyampaikan bahwa bentrokan
antarwarga yang terjadi di Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh, berawal dari
kesalahpahaman. Kalla mengaku telah berbicara dengan Gubernur Aceh Zaini
Abdullah terkait bencana ini.
"Saya
sudah bicara dengan Gubernur Aceh. Hari ini Kapolda ke sana, besok Panglima TNI
ke sana. Memang ada kesalahpahaman di situ," kata Kalla di Kantor Wakil
Presiden, Jakarta, Selasa (13/10/2015).
Ia pun
berharap kesalahpahaman ini bisa segera diselesaikan aparat dan pejabat
terkait. "Jadi mudah-mudahan bisa diselesaikan di situ, panglima,
gubernur, kapolda, dia sudah ke sana," sambung Kalla.
Diberitakan
sebelumnya, bentrokan antarwarga terjadi di Kabupaten Aceh Singkil, Aceh.
Akibat bentrokan ini, seorang warga dikabarkan tewas dan empat orang lainnya
menderita luka-luka.
Insiden ini
dipicu pembakaran sebuah rumah yang dianggap tak memiliki izin untuk digunakan
sebagai tempat ibadah. Sumber dari Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil
menyebutkan, aksi terjadi sejak Senin (12/10/2015) tengah malam, setelah warga
menilai Pemkab Aceh Singkil tidak mau memenuhi tuntutan untuk membongkar
bangunan saat unjuk rasa dilakukan pada 6 Oktober 2015 lalu.
Menurut
laporan kepolisian, bentrokan terjadi pada Selasa (13/10/2015) sekitar pukul
12.00 WIB. Bentrokan terjadi antara massa yang menamakan diri mereka Gerakan
Pemuda Peduli Islam Aceh Singkil dan warga Desa Dangguran, Kecamatan Gunung
Meriah, Kabupaten Aceh Singkil.
Kerusuhan
berawal ketika sekelompok massa hendak menerobos barikade penjagaan ke bangunan
yang dinamai Gereja HKI di Dusun Dangguran, Desa Kuta Lerangan, Kecamatan
Simpang Kanan, Kabupaten Aceh Singkil.
Aksi massa
penyerbu ini mendapatkan perlawanan dari warga Desa Dangguran sehingga berujung
pada bentrokan. Akibatnya, tiga warga dan seorang personel TNI menderita
luka-luka ringan, sementara satu warga bernama Samsul, warga Desa Buloh Sema,
Kecamatan Suro, dikabarkan tewas.
Saat ini,
personel kepolisian dan TNI terlihat berjaga ketat di beberapa titik Kecamatan
Simpang Kanan setelah berhasil menghentikan bentrokan. Seusai menghentikan
bentrokan, polisi menyita berbagai jenis senjata, seperti kapak, parang, bom
molotov, bambu runcing, dan kelewang, serta tiga mobil Colt Diesel, tiga mobil
Mitsubishi Carry bak terbuka, dan 20 sepeda motor yang diduga digunakan para
penyerang.
Kapolres Aceh
Singkil AKBP Budi Samekto tak memberikan banyak keterangan saat Kompas.com
menghubunginya lewat telepon. Kapolres hanya menyebutkan, kepolisian sedang
berupaya mengamankan suasana dan memerintahkan seluruh jajarannya untuk berjaga-jaga
di Kecamatan Simpang Kanan.
Kerusuhan ini
bisa cepat diredam sehingga tidak meluas dan mengganggu aktivitas warga.
Sementara itu, suasana di ibu kota Kabupaten Singkil dilaporkan kondusif.
Mahdi, seorang warga Pulo Sarok, Singkil, mengatakan, kegiatan sehari-hari
warga berjalan normal, meski dia sempat mendengar soal kerusuhan.
"Iya, ada
dengar kabar rusuh, tetapi kami di sini tak apa-apa," katanya.
Sebelumnya disebutkan, Pemkab Aceh Singkil memang
berniat membongkar 24 rumah ibadah tanpa izin. Berdasarkan hasil pertemuan dan
rapat yang dihadiri aparat pemerintah kabupaten, tokoh adat, dan tokoh agama,
mereka sepakat bahwa 10 rumah ibadah tanpa izin akan dibongkar pada pekan
depan. Untuk sisanya yang berjumlah 14 unit, para pengelola diberi kesempatan
mengurus izin pendirian rumah ibadah. (http://nasional.kompas.com/read/2015/10/13/18233821/JK.Sebut.Bentrokan.di.Aceh.Singkil.karena.Kesalahpahaman)
3.2 PEMBAHASAN
3.2.1 Penyebab
konflik Singkil Aceh
Konflik
mengandung suatu pengertian tingkah laku yang luas daripada yang biasa
dibayangkan orang dengan mengartikannya sebagai pertentangan yang kasar dan
perang. Dasar konflik berbeda-beda. Dalam
hal ini terdapat beberapa elemen dasar yang merupakan ciri-ciri dari
situasi konflik, yaitu:
a. Terdapatnya
dua unit atau lebih unit-unit atau bagian-bagian yang terlihat di dalam
konflik.
b. Unit-unit
tersebut mempunyai perbedaan-perbedaan yang tajam dalam kebutuhan-kebutuhan,
tujuan-tujuan, masalah-masalah, nilai-nilai, sikap-sikap maupun
gagasan-gagasan.
c. Terdapatnya
interaksi di antara bagian-bagian yang mempunyai perbedaan-perbedaan tersebut.
d. Perbedaan
kepentingan antar kelompok, serta keinginan untuk memenangkan kemauanya
sendiri.
Konflik bagi bangsa Indonesia tak dapat dielakkan
karena bangsa Indonesia dilahirkan dalam kamajemukan yang penuh dengan sejarah
konflik primordial yang berkepanjangan khususnya konflik horizontal. Terdapat
tiga jenis konflik horizontal yang sering terjadi adalah :
(1) konflik antaragama
(2) konflik antar etnis
(ras atau suku) atau konflik penduduk asli dan pendatang
(3) konflik antar
pribumi dan nonpribumi (Husaini Usman, 2004: 224).
Konflik etnik
tersebut memberi bukti bahwa kekokohan bangunan supra-struktur negara
kebangsaan sangat rapuh. Ada dua faktor penyebab kerapuhan fondasi kehidupan
berbangsa dan bernegara. Pertama, doktrin ideologis ‘Bhineka Tunggal Ika’ telah
diselewengkan oleh sebuah kekuatan yang berorientasi pada pemerintahan pusat.
Akibatnya daerah-daerah kurang diberi kepercayaan untuk mengurus dirinya
sendiri Kedua, Pembangunan yang dilakukan di atas sebuah komunitas plural lebih
memaksakan pola yang berkarakteristik penyeragaman berbagai aspek sistem
sosial, politik dan budaya. Akibatnya, jati diri sistem lokal dikesampingkan Terjadinya
konflik yang benuansa SARA pada beberapa daerah di Indonesia, dari banyak studi
yang dilakukan salah satu penyebabnya adalah, akibat dari lemahnya pemahaman
dan pemaknaan tentang konsep kearipan budaya. Konflik akan muncul apabila tidak
ada distribusi nilai yang adil kepada masyarakat. Terdapat perbedaan ras pada
masyarakat menjadi penanda awal yang secara budaya sudah dilabelkan hambatanhambatannya,
yakni prasangka rasial. Prasangka rasial ini sangat sensitif karena melibatkan
sikap seseorang ataupun kelompok ras tertentu terhadap ras lain. Prasangka ini
juga bisa muncul oleh situasi sosial, sejarah masa lalu, stereotipe dan
etnosentrisme yang menjadi bagian dalam kebudayaan kelompok tertentu. Dengan
kata lain dinamika dan perkembangan masyarakat Indonesia kedepan sangat
dipengaruhi oleh hubunganhubungan antar etnis.
Terjadinya
konflik yang benuansa SARA pada beberapa daerah di Indonesia, dari banyak studi
yang dilakukan salah satu penyebabnya adalah, akibat dari lemahnya pemahaman
dan pemaknaan tentang konsep kearifan budaya. Konflik akan muncul apabila tidak
ada distribusi nilai yang adil kepada masyarakat. Terdapat perbedaan ras pada masyarakat
menjadi penanda awal yang secara budaya sudah dilabelkan hambatanhambatannya, yakni
prasangka rasial. Prasangka rasial ini sangat sensitif karena melibatkan sikap
seseorang ataupun kelompok ras tertentu terhadap ras lain. Prasangka ini juga
bisa muncul oleh situasi sosial, sejarah masa lalu, stereotipe dan
etnosentrisme yang menjadi bagian dalam kebudayaan kelompok tertentu. Dengan
kata lain dinamika dan perkembangan masyarakat Indonesia kedepan sangat
dipengaruhi oleh hubungan-hubungan antar etnis.
Pada kasus
konflik di Singkil Aceh ini penyebabnya adalah kesalahpahaman antara warga yang
menuntut untuk pembongkaran tempat ibadah yang tidak memiliki ijin dengan pihak
pemerintah dalam hal itu adalah bupati Singkil Aceh. Desakan
warga masyarakat di wilayah itu--agar pemerintah setempat membongkar gereja tak
berizin. Jika tuntutan itu tidak dipenuhi, warga akan membongkar sendiri. Atas
desakan itu, Pemerintah Singkil menggelar rapat membahas masalah tersebut di
kantor bupati. Rapat berakhir sampai larut malam (Senin malam). Selanjutnya,
unsur Musyawarah Pimpinan Daerah Kabupaten Singkil memutuskan akan melakukan
pembongkaran gereja sepekan lagi. Tapi, warga menentang keputusan tersebut.
Mereka menginginkan pembongkaran gereja dilakukan Selasa ini.
Sedangkan
menurut pihak kepolisian peristiwa di
Singkil berawal dari adanya sekelompok warga yang meminta pemerintah setempat
menertibkan tempat ibadah yang ada di wilayah Singkil. Sebab, menurut
kesepakatan pada tahun 1979, jumlah rumah ibadah yang diperbolehkan hanyalah
lima unit. Pemerintah setempat berencana membongkar rumah ibadah pada Selasa
(13/10/2015).
Namun, kelompok
warga itu tak sabar dan akhirnya menyerang rumah ibadah beserta warganya.
Akibat bentrokan ini, seorang warga tewas, dan empat orang lainnya menderita
luka-luka. Satu di antara korban luka adalah anggota TNI dari Kodim Singkil.
3.1.2 Tanggapan
pemerintah atas kejadian konflik Singkil Aceh
Setelah kejadian
konflik Singkil Aceh Wakil Presiden Jusuf Kalla langsung berkoordianasi dengan Gubernur
Nanggroe Aceh Darussalam Zaini Abdullah
dan mengirimkan kapolda NAD untuk mengamankan lokasi konflik dan menenagkan
masyarakat sehingga tidak menimbulkan kelanjutan konflik dan pada tanggal 14
oktober 2015 Panglima TNI ke lokasi konflik Singkil Aceh untuk meninjau lokasi
dan melakukan pengamanan.
Senada dengan TNI, Polri
langsung melakukan tindakan dengan ada 20 orang yang diamankan dalam peristiwa
bentrokan di Aceh Singkil, Selasa (13/10/2015). Mereka berasal dari kelompok
warga yang menyerang dan membakar rumah ibadah di sana. Dari 20 orang yang ditangkap, polisi menyita
sejumlah barang bukti, antara lain 20 sepeda motor pribadi, 3 mobil pick-up
untuk mengangkut massa, 3 mobil Colt Diesel, serta sejumlah alat yang digunakan
sebagai senjata berupa kapak, bambu runcing, kelewang, dan bom molotov.
Polisi mempunyai
rekaman video bentrokan sekaligus proses pembakaran rumah yang dianggap tak
memiliki izin untuk digunakan sebagai rumah ibadah. Polisi akan menjadikan
video tersebut sebagai alat bukti untuk proses cek silang kedua puluh orang
yang sudah diamankan serta pelaku lainnya
3.1.3 upaya untuk menyelesaikan masalah kerusuhan yang
terjadi di Singkil Aceh
Upaya
penyelesaikan masalah kerusuhan yang terjadi di Singkil Aceh diantaranya dengan
melaksanakan pembangunan rumah ibadah umat beragama yang sudah diatur dengan
pasti, baik dalam Surat Keputusan Bersama Dua Menteri tentang Rumah Ibadah,
Peraturan Gubernur No 25/2007 tentang Izin Pendirian Rumah Ibadah di Aceh,
maupun Qanun Aceh Singkil Nomor 2/2007 tentang Pendirian Rumah Ibadah.
Negara harus
memenuhi UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 yang berbunyi “Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu”.
Untuk para pemuka agama tetap tenang dan
jangan terpancing suasana ini begitu pula warga masyarakat Singkil Aceh tetap
tenang, kedepankan rasa persaudaraan dan toleransi.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
Konflik atau kerusuhan di singkil Aceh
sebenarnya muncul akibat terjadinya pertentangan mengenai penerapan nilai
sosial yang ada di dalam sebuah masyarakat, karena ukuran benar salahnya suatu
tindakan antar individu satu dengan individu yang lain berbeda-beda.
Nilai-nilai sosial di Indonesia dilandaskan akan Pancasila, maka demi
memunculkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia maka perlu diadakan
musyawarah untuk mencapai sebuah mufakat.
Begitu juga tentang kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan pun tidak
akan terwujud apabila Indonesia tidak cinta damai dan adanya integrasi antara
kelompok satu dengan kelompok yang lainnya. Persatuan Indonesia juga tidak akan
terwujud apabila manusia-manusia di Indonesia bukan manusia-manusia beradab,
dan juga kemanusian yang adil dan beradab itu didasari oleh Ketuhanan yang Maha
Esa. Demi mewujudkan kehidupan sosial yang didasarkan oleh pancasila sebagai
sumber nilai bagi rakyat Indonesia maka kita harus memahami sila pertama dari
pancasila tersebut yaitu Ketuhanan
yang
Maha Esa. (Iwan Gayo, H. M. 2007: 654).
Berbicara mengenai agama berarti
berbicara tentang keyakinan seseorang terhadap Sang Pencipta atau Tuhan. Sebuah
keyakinan muncul dari hati nurani dan setiap manusia mempunyai hati nurani
serta setiap orang bebas menyakini hal tersebut yang menurut mereka sesuai
dengan hati nurani. Agama dimunculkan bukan untuk membedakan-bedakan umat manusia
ke dalam kotak-kotak tertentu, tetapi dibentuk agar di antara para penganut
agama yang berbeda-beda tersebut mempunyai sikap toleransi.
Agama mendorong solidaritas sosial
dengan mempersatukan orangorang beriman ke dalam sebuah komunitas yang memiliki
nilai dan perpektif yang sama. Ajaran agama membantu manusia untuk menyesuaikan
diri dengan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Agama juga dapat membantu
manusia untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru, namun para
fungsionalis juga mempelajari cara-cara agama dapat bersifat disfungsional, yaitu
bagaimana agama dapat mengakibatkan kerusakan. Dua disfungsi itu adalah
penyiksaan dan perang yang mendasarkan atas nama agama. Agama juga bisa
menimbulkan konflik atau perpecahan di antara para pemeluk agama yang
berbeda-beda (Henslin, James M. 2007: 164).
Diketahui bahwa pada masing-masing agama menyebutkan
Tuhannya masing-masing, seperti pada ajaran agama Budha disebut Budha Gautama, pada
agama Hindu disebut Sang Hyang Widhi, pada agama Islam disebut Allah SWT, pada
agama Kristen dan Katholik disebut sebagai Allah atau Bapa. Di dalam keyakinan
yang bersifat kesukuan pun berbeda-beda, seperti orang Sunda menyebut Gusti,
Suku Jawa menyebut Pangeran. Meskipun penyebutan Tuhan di masing-masing agama
berbeda-beda bukan berarti bahwa Tuhan itu banyak. Disebutkan pada sila pertama
Pancasila di dalam butir-butir Pancasila yaitu Ketuhanan yang Maha Esa. (Iwan
Gayo, H. M. 2007: 654).
4.2 Saran
Saran yang saya berikan untuk dapat
kasus singkil Aceh ini diantaranya :
1. Kepada
Pemerintah Pusat hendaknya menjamin kehidupan berumat dan beragama sesuai yang
diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 yang berbunyi “Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu”.
2. Untuk
pemerintah daerah Nanggroe Aceh Darusalam (NAD) sebaiknya untuk pengecekan
Surat ijin mendirikan bangunan atau di singkat IMB sebaiknya jangan hanya pada
gereja saja tetapi pada tempat peribadatan lainnya seperti pura, klenteng,
masjid, vihara sehingga tidak menimbulkan diskriminatif terhadap kaum
minoritas.
3. Untuk
warga masyarakat Singkil Aceh pada khususnya dan masyarakat Aceh pada umumnya
junjung tinggilah rasa persatuan, persaudaraan, toleransi dengan menngedepankan
rasa kemanusiaan yang adil dan beradap. Jangan memandang kaum yng minoritas
dengan sebelah mata.
DAFTARPUSTAKA
Daliman.
2012. Metode Penelitian Sejarah.
Yogyakarta : Ombak.
Echols,
J.M, and Shadily, H. 1983. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta : Penerbit
P.T. Gramedia.
Hanafi,
Mahmud M. 1997. Manajemen .Jogjakarta
: UUP AMP YKPN.
Handoko,
T. Hani. 1984. Manajemen edisi II .Yogyakarta : BPFE.
George
Ritzer dan Douglas J. Gooman, 2004. Teori
Sosiologi Moder. Jakarta : Prenada Media.
Isre,
Moh. Soleh. 2003 . Konflik Etno Religius Indonesia Kontemporer. Jakarta:
Departemen Agama RI.
Kartono,
Kartini. 1998. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada.
Mardianto,
A. dkk. 2000. Penggunaan Manajemen Konflik Ditinjau Dari Status Keikutsertaan
Dalam Mengikuti Kegiatan Pencinta Alam Di Universitas Gajah Mada.
Jurnal Psikologi, No. 2
Soekanto,
Soerjono.1992. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Rajawali Pers.
Soemitro, Ronny Hannitijo. 1998 Metode
Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta : Ghalia Indonesia. Cet. 1.
Susan,
Novri. 2009. Sosiologi Konflik dan Isu-isu Kontemporer. Jakarta:
Kencana.
Usman, A Rani. 2003. Sejarah
Peradaban Aceh. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Wahyu.
1986. Wawasan Ilmu Sosial Dasar. (Surabaya: Usaha Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar