Jumat, 23 Oktober 2015

Tugas Perdata

Pada berbagai kasus perdebatan konsep atau sistem hukum yang akan digunakan dalam penyelesaian suatu perkara, seringkali masyarakat umum dihadapkan pada pilihan-pilihan penyelesaian secara adat, negara, ataukah berdasar norma-norma agama. Menjadi menarik karena semua cara penyelesaian tersebut tidak jarang digunakan antara satu dengan lainnya di wilayah dengan budaya yang berbeda, atau bahkan di wilayah yang sama untuk kasus sama dengan waktu dan penduduk yang berbeda generasi. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan beragam kebudayaan, sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kenyataan pengakuan hukum-hukum yang hidup di masyarakat selain hukum negara.
Beberapa orang lantas menilai sistematika hukum di indonesia tidak memiliki kejelasan arah dan konsistensi. Secara konstitusi telah memiliki hirarki peraturan perundang-undangan dengan berbagai undang-undang yang telah terkodifikasi maupun parsial. Ini adalah ciri bahwa Indonesia merupakan penganut civil law. Namun pada pelaksanaannya hukum negara tersebut menjadi kehilangan eksistensinya tatkala dihadapkan pada kemauan masyarakat yang sangat kuat untuk menerapkan hukum mereka sendiri atas persoalan-persoalan kemasyarakatan yang dihadapi. Padahal perilaku hukum yang demikian merupakan ciri dari penerapan sistem Common Law. Belum lagi dalam beberapa persoalan pembagian harta, masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim dihadapkan pada pilihan pembagian menurut peraturan negara ataukah secara agama yang penyelesaiannya tentu pada ruang peradilan yang berbeda pula.
Barangkali beberapa orang boleh mengatakan, bahwa penerimaan asas konkordasi oleh Pemerintah Indonesia terhadap hukum warisan kolonial Belanda yang terkodifikasi dalam KUHP (Wetboek van Strafrecht) maupun KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek), menyebabkan sistem hukum Indonesia banyak dipengaruhi oleh sistem hukum Eropa Kontinental (civil law). Akan tetapi apakah hal tersebut lantas menjadikan sistem hukum di Indonesia adalah civil law system? Belum tentu! Karena pengaruh bukanlah identik, dipengaruhi bukan berarti dianut.
Lantas dengan penerapan hukum-hukum adat di beberapa wilayah Indonesia, atau beberapa konsep hukum ekonomi yang mengadopsi konsep-konsep sistem hukum Anglo Saxon, seperti penjatuhan sanksi bangkrut dengan semua konsekuensi ekonominya sebagai hukuman bagi debitur nakal, atau mengedepankan penyelesaian sengketa melalui proses perdamaian di luar sidang berupa mediasi dan arbitrase, yang semuanya tidak dikenal dalam civil law system, apakah lantas membuat Indonesia dianggap menganut common law system? Tentu juga tidak!
Sistem hukum Indonesia adalah sistem hukum yang unik. Beberapa sarjana hukum mengatakan bahwa sistem hukum di Indonesia adalah sistem hukum Indonesia itu sendiri. Sebuah sistem yang dibangun dari proses penemuan, pengembangan, adaptasi, bahkan kompromi dari beberapa sistem yang telah ada. Hingga kemudian lahirlah Teori Hukum Pembangunan yang dipelopori Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja.
Teori Mochtar tersebut dikenal juga sebagai Madzhab Unpad, karena profesinya sebagai guru besar hukum di Universitas Padjajaran. Menurut Mochtar, hukum adalah sarana pembaruan masyarakat. Pandangannya tentang konsep hukum tersebut sebenarnya merupakan modifikasi dari konsep hukum Roscoe Pound yang merupakan pelopor aliran sociological jurisprudence, yakni hukum ideal adalah hukum yang dibuat dengan memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat (law as a tool of social engineering). Aliran ini memiliki pandangan nyaris sama dengan madzhab sejarah yang dipelopori Von Savigny, bahwa suatu hukum tidak dapat berlaku secara universal karena keberlakuannya sangat bergantung pada volkgeist atau jiwa rakyat yang mendiami suatu bangsa. Kedua pandangan dalam aliran tersebut yang menjiwai teori hukum pembangunan, sesungguhnya adalah yang melatari penerapan common law di negara Inggris, Amerika, dan beberapa negara jajahan Inggris lainnya.
Dari uraian latar belakang di atas, tampak bahwa sistematika hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh civil law system, namun dalam praktek di beberapa masyarakat adat Indonesia yang majemuk juga tidak lepas dari karakteristik common law system. Setidaknya ada lebih dari 23 sistem hukum adat di Indonesia, diantaranya; Aceh, Gayo dan Batak, Nias, Minangkabau, Mentawai, Sumatra Selatan, Enggano, Melayu, Bangka dan Belitung, Kalimantan (Dayak), Sangihe-Talaud, Gorontalo, Toraja, Sulawesi Selatan (Bugis/Makassar), Maluku Utara, Maluku Ambon, Maluku Tenggara, Papua, Nusa Tenggara Barat dan Timur, Bali dan Lombok, Jawa dan Madura, Jawa Mataraman, serta Jawa Barat (Sunda).
Hal tersebut menimbulkan sebuah pertanyaan sebagai persoalan atas sistematika hukum yang ada di Indonesia, yaitu: “Sistem hukum apakah sesungguhnya yang hidup dan berkembang di negara Indonesia?”. Melalui artikel ini akan menguraikan sejarah tentang civil law system dan hubungannya dalam perkembangan hukum di Indonesia.
Sistem, secara terminologi adalah keseluruhan bagian atau komponen yang saling mempengaruhi satu sama lain untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Sehingga sistem hukum dunia dapat dimaknai sebagai kesatuan atau keseluruhan kaidah hukum yang berlaku di negara-negara atau daerah di dunia untuk mencapai tujuan hukum di masing-masing negara atau daerah tersebut. Pada masa kini, sistem hukum dunia terdiri dari; sistem hukum sipil (civil law), sistem hukum Anglo Saxon (common law), sistem hukum agama, sistem hukum adat, dan sistem hukum negara-negara blok timur (sosialis).
Dari kelima sistem hukum yang ada, dua sistem hukum sangat mendominasi sistem-sistem hukum yang digunakan banyak negara di dunia, yaitu civil law system dengan istilah Rechtstaat dan common law system dengan istilah Rule of Law. Berbagai literatur hukum Indonesia yang ada nyaris tidak ada yang menerjemahkan keduanya, karena memang sulit mencari padanan langsungnya.
Namun demikian, mengacu definisi terminologi asal kata keduanya, common law dimaknai sebagai hukum yang dibuat berdasarkan adat atau tradisi yang berlaku dalam masyarakat, juga keputusan-keputusan hakim. Sistem hukum ini dulunya kebanyakan tidaklah tertulis, tetapi kini banyak yang dikodifikasikan. Bukan sebagai undang-undang, melainkan jurisprudence atas keputusan-keputusan yang pernah dibuat. Meski sifatnya adalah hukum kebiasaan atau kasus per kasus, akan tetapi common law tidaklah sama dengan hukum adat (customary law) yang diakui keberadaannya di Indonesia maupun case law.
Berbeda dengan common law, sejak awal civil law merupakan hukum yang dibuat berdasarkan kodifikasi hukum yang dilakukan oleh lembaga yang oleh negara diberikan otoritas untuk kepentingan tersebut, seperti lembaga legislatif. Selanjutnya secara rinci kedua sistem tersebut diuraikan dalam pembahasan berikut ini.
Civil law system merupakan sistem hukum yang berkembang di dataran Eropa. Kekhasan sistem civil law terletak pada tekanannya dalam penggunaan aturan-aturan hukum yang sifatnya tertulis dalam sistematika hukumnya. Awal perkembangannya di daratan Eropa Timur sehingga dikenal sebagai sistem Eropa Kontinental. Sistem ini kemudian disebarkan negara-negara Eropa Daratan kepada daerah-daerah jajahannya.
Civil law dikenal juga sebagai Romano-Germanic Legal System atau sistem hukum Romawi-Jerman. Hal ini karena sejarah kelahiran sistem civil law yang sangat dipengaruhi sistem hukum Kerajaan Romawi dan Negara Jerman kala itu. Sebagai sistem hukum yang mendapat pengaruh kerajan Romawi, Civil law merupakan sistem hukum tertua sekaligus paling berpengaruh di dunia.
Berawal sekitar abad 450 SM, Kerajaan Romawi membuat kumpulan peraturan tertulis pertama yang disebut sebagai “Twelve Tables of Rome”. Sistem hukum Romawi ini menyebar ke berbagai belahan dunia seiring meluasnya Kerajaan Romawi. Sepuluh abad kemudian, atau pada akhir abad V M oleh kaisar Romawi Justinianus kumpulan-kumpulan peraturan ini dikodifikasikan sebagai Corpus Juries Civilize (hukum yang terkodifikasi), yang penulisannya selesai pada tahun 534 M. Ada empat hal yang dimuat dalam Corpus Juries Civilize, yaitu:
1. Caudex, yakni aturan-aturan dan putusan-putusan yang dibuat oleh para kaisar sebelum Justinianus,
2. Novellae, yakni aturan-aturan hukum yang diundangkan pada masa kekaisaran Justinianus sendiri,
3. Institutie, yakni suatu buku ajar kecil yang dimaksudkan sebagai pengantar bagi mereka yang baru belajar hukum,
4. Digesta, yakni sekumpulan besar pendapat para yuris romawi ketika itu mengenai ribuan proposisi hukum yang berkaitan dengan semua hukum yang mengatur warga Negara Romawi.
Menurut sistem ini, hukum haruslah dikodifikasi sebagai dasar berlakunya hukum dalam suatu negara. Ketika Eropa memiliki pemerintahan sendiri, hukum Romawi digunakan sebagai dasar dari hukum nasional masing-masing negara.
Penemuan Justinianus semakin mendapat tempat pada masa pencerahan dan rasionalisme (abad XV-XVII M). Pandangan-pandangan para filsuf masa itu, seperti Huge de Groot alias Grotius (1583-1645) yang menekankan pendekatan rasional dalam struktur hukum dan perlunya penyusunan materi hukum secara sistematis, atau Christoper Wolff (1679-1754) yang berkebangsaan Jerman dengan usahanya membangun sebuah sistem hukum yang menyeluruh dan rasional berdasarkan metode ilmiah, menyadarkan dan memunculkan semangat kodifikasi di berbagai negara Eropa.
Luasnya kekuasaan Romawi hingga ke Eropa Timur yang berpusat di Konstantinopel, menjadikan pengaruh sistem hukum romawi tidak terkikis kendati Kerajaan Romawi telah runtuh, bahkan menjadi sumber kodifikasi hukum Eropa Kontinental. Semangat rasionalisme yang menyebabkan revolusi Perancis, membawa negara tersebut sejak 21 Maret 1804 menjadi peletak tata hukum baru melalui diterbitkannya Code Civil yang merupakan bagian dari Codex Napoleon, yakni kaidah-kaidah hukum Napoleon Bonaparte yang terkodifikasi dalam 3 buku; code penal, code civil, dan code de commerce. Setengah abad kemudian di Jerman juga terbentuk code civil pada tahun 1896.
Dalam sistem Hukum Eropa Kontinental, kodifikasi hukum merupakan sesuatu yang sangat penting untuk terwujudnya kepastian hukum. Sebagai bekas wilayah jajahan Perancis, oleh Belanda code civil Perancis diadopsi menjadi KUHPerdata pada tahun 1838. Begitupun Code de Commerce Perancis dijadikan sebagai KUHDagang Belanda. Berdasarkan asas konkordansi keduanya dijadikan sebagai undang-undang keperdataan dan perdagangan di negara-negara jajahan Belanda, termasuk di Indonesia sejak tahun 1848 dan berlaku hingga sekarang.
Prinsip utama yang menjadi dasar sistem hukum Eropa Kontinental adalah, bahwa hukum memperoleh kekuatan mengikat karena diwujudkan. Model sistem seperti ini dipelopori oleh diantaranya Immanuel Kant dan Frederich Julius Stahl. Menurut Stahl konsep sistem hukum ditandai oleh empat unsur pokok:
1. Adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia,
2. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara yang didasarkan pada teori trias politika,
3. Penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan undang-undang (wetmatig bestuur), dan
4. Adanya peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh penerintah.

Prinsip hukum melalui keempat unsur tersebut diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang tersusun sistematis di dalam kodifikasi atau kompilasi tertentu. Tidak ada hukum selain undang-undang, yang tujuannya untuk menciptakan kepastian hukum itu sendiri. Dan kepastian hukum hanya dapat diwujudkan jika pergaulan atau hubungan dalam masyarakat diatur dengan peraturan-peraturan hukum yang tertulis.
Dalam sistem Eropa Kontinental hakim tidak memiliki keleluasaan untuk menciptakan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat masyarakat, dan hanya boleh menafsirkan peraturan-peraturan yang telah ada berdasarkan wewenang yang melekat. Putusan hakim dalam suatu perkara hanyalah mengikat pihak yang berperkara saja (Doktrins Res Ajudicata). Mengingat sifatnya yang berorientasi pada unsur kedaulatan (sovereignty), termasuk dalam menetapkan hukum, maka yang menjadi sumber hukum dalam sistem Eropa Kontinental, meliputi:  
1. Peraturan perundang-undangan, sebagai sumber hukum formal utama yang dibentuk oleh  pemegang kekuasaan legislatif (Statutes), dan terbagi menjadi:
a. Peraturan (regel), yakni keputusan pemerintah yang isinya berlaku dan mengikat secara umum, bukan hanya ditujukan pada orang-orang tertentu.
b. Penetapan atau ketetapan (beschikking), yakni keputusan pemerintah yang hanya berlaku bagi orang atau peruntukan tertentu saja.
c. Vonis, yakni keputusan badan peradilan (hakim) yang menetapkan hukum atas kasus konkret tertentu sebagai penyelesaian.

2. Kebiasaan-kebiasaan yang hidup dan diterima sebagai hukum oleh masyarakat selama tidak bertentangan dengan undang-undang. Kebiasaan atau tradisi merupakan sumber hukum tertua, yang digali sebagian dari hukum di luar Undang-Undang.
Kebiasaan adalah pengulangan perilaku yang sama di dalam masyarakat setiap kali terjadi situasi kemasyarakatan yang sama. Kebiasaan menjadi suatu hukum apabila kebiasaan itu diyakini oleh masyarakat sebagai suatu kewajiban hukum karena dirasakan sesuai dengan tuntutan keadilan. Di samping itu, suatu kebiasaan juga dapat menjadi hukum kebiasaan karena dikonstatir oleh hakim dalam putusannya.
Persyaratan untuk dapat menjadi hukum kebiasaan, adalah:
a.       Syarat materiil berupa adanya kebiasaan atau tingkah laku yang tetap atau diulang, yaitu harus dapat ditunjukkan adanya suatu rangkaian perbuatan yang sama dan berlangsung selama jangka waktu yang lama.
b.      Syarat intelektual, yaitu kebiasaan itu harus menimbulkan keyakinan umum (necessitatis) bahwa suatu perbuatan merupakan kewajiban hukum. Keyakinan ini harus didukung bukan hanya dengan keberlangsungan terus menerus, juga adanya keyakinan bahwa memang seharusnya memang demikian.
c. Adanya akibat hukum apabila hukum kebiasaan itu di langgar.

3. Traktat, yaitu perjanjian antarnegara.
Traktat dibedakan antara perjanjian antarnegara yang sifatnya penting (treaty) dan perjanjian antarnegara yang bersifat biasa atau tidak begitu penting (agreement). Berdasarkan jenisnya traktat dibedakan pula antara perjanjian bilateral (dilakukan hanya oleh dua negara) dan perjanjian multilateral (dilakukan oleh lebih dari dua negara). Perjanjian multilateral ada yang bersifat terbuka, yakni setelah traktat itu berlaku masih terbuka kemungkinan negara-negara lain yang tidak turut serta dalam pembentukannya untuk menjadi peserta dari traktat tersebut, dan ada yang bersifat tertutup, yakni negara lain yang tidak terlibat dalam pembentukannya tidak dapat menjadi peserta pada traktat termaksud.
Traktat hanya dapat diselenggarakan oleh subjek-subjek hukum pada Hukum Internasional, yaitu; negara yang berdaulat, badan-badan internasional, dan tahta suci Vatikan (Sri Paus).

4. Yurisprudensi, dalam konteks sistem civil law merupakan putusan hakim di semua tingkatan badan peradilan, yang kemudian dijadikan dasar untuk menyelesaikan kasus-kasus serupa di kemudian hari. Dalam sistem kontinental, hakim tidak terikat pada putusan pengadilan yang pernah dijatuhkan mengenai perkara yang serupa. Untuk merealisasi asas kesamaan putusan dalam sistem kontinental, maka hakim diikat oleh undang-undang. Di sini Hakim berpikir secara deduktif, dari undang-undang yang sifatnya umum ke peristiwa khusus.

Perbedaan yurisprudensi dengan undang-undang adalah putusan pengadilan berisi peraturan-peraturan yang bersifat konkret karena mengikat orang-orang tertentu saja, sedangkan undang-undang berisi peraturan-peraturan yang bersifat abstrak karena mengikat setiap orang.
Merunut sumber-sumber hukum yang digunakan tersebut, maka sistem hukum Eropa Kontinental terbagi ke dalam dua golongan hukum, yaitu:
a.       Hukum yang mengatur kesejahteraan masyarakat dan kepentingan umum, disebut hukum publik, dan
b.      Hukum yang mengatur hubungan perdata artinya yang mengatur hubungan orang, disebut hukum privat.
Hukum publik mencakup peraturan-peraturan hukum yang mengatur kekuasaan dan wewenang penguasa negara, serta hubungan-hubungan antara masyarakat dan negara. Termasuk di dalamnya adalah hukum tatanegara, hukum administrasi negara, hukum pidana dan lainnya. Pada sisi lain hukum privat mencakup peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang hubungan antara individu-individu dalam memenuhi kebutuhan individunya. Termasuk hukum privat adalah hukum sipil (perdata) dan hukum dagang.
Namun demikian, perkembangan peradaban manusia saat sekarang menyebabkan batas-batas antara hukum publik dan hukum privat semakin sulit ditemukan, disebabkan:
a. banyaknya bidang-bidang kehidupan masyarakat menuntut intensifitas sosialisasi makna kepentingan umum di dalam hukum sebagai urusan yang perlu dilindungi dan dijamin. Misalnya, dalam hukum perburuhan dan hukum agraria.
b. tingginya persoalan individu di dalam masyarakat yang semakin kompleks, mendorong keterlibatan negara semakin jauh ke dalam bidang kehidupan yang sebelumnya hanya menyangkut hubungan perorangan. Misalnya, bidang perdagangan, bidang perjanjian, dan perlindungan hak-hak asasi manusia seperti tercermin dalam undang-undang perkawinan, KDRT dan perlindungan anak.
Di samping pembagian dalam dua golongan hukum, sistem civil law yang berjiwa sistematika hukum Romawi-Jerman cenderung memiliki kesamaan ciri dalam strukturnya, meliputi:
a. terbaginya hukum menjadi bidang-bidang hukum tertentu, seperti: Hukum Tata Negara, Hukum Tata Usaha Negara, Hukum Agraria, Hukum Perdata Internasional, dan sebagainya;
b. adanya penyatuan atau unifikasi dalam hukum menjadi satu hukum negara yang diberlakukan untuk seluruh penduduk berdasarkan teritorial negara bersangkutan, dengan tidak membedakan golongan, tidak diskriminatif atau memandang setiap orang berkedudukan sama dimuka hukum;
c. hukum-hukum tertulis yang ada disatukan dalam klasifikasi-klasifikasi sebagai sebuah kodifikasi hukum. Kansil memberikan pengertian kodifikasi sebagai pembukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap. Tujuan kodifikasi adalah untuk memperoleh kepastian hukum, penyederhanaan hukum dan kesatuan hukum. Beberapa contoh kodifikasi hukum adalah:
1) Kodifikasi hukum di Eropa adalah Corpus Juries Civilize (mengenai Hukum Perdata) yang diusahakan oleh Kaisar Justinianus dari Kerajaan Romawi Timur dalam tahun 527-565 dan dan Code Civil (mengenai Hukum Perdata) yang diusahakan oleh Kaisar Napoleon di Perancis pada tahun 1604.
2) Kodifikasi hukum di Indonesia adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (1 Mei 1848), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (1 Mei 1848) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (1 Januari 1918).
Beberapa negara di dunia yang sistematika hukumnya banyak dipengaruhi civil law system, yaitu: Albania, Austria, Belanda, Belgia, Bulgaria, Brasil, Chili, Republik Ceko, Denmark, Republik Dominika, Ekuador, Estonia, Finlandia, Guatemala, Haiti, Hongaria, Indonesia, Italia, Jepang, Jerman, Kolombia, Kroasia, Latvia, Lituania, Luxemburg, Makau, Malta (namun hukum publiknya juga mendapat pengaruh common law system), Meksiko, Norwegia, Panama, Perancis, Peru, Polandia, Portugal, Rusia, Slovakia, Spanyol, Swedia, Swiss, Thailand, Taiwan, Vietnam, dan Yunani.

C. PERKEMBANGAN HUKUM DI INDONESIA
Sistem hukum di Indonesia saat ini merupakan sistem hukum yang didasarkan pada asas konkordasi, yakni menerima secara sukarela untuk memperlakukan sistem hukum yang berasal dari daratan Eropa Kontinental. Namun sebagai negara kepulauan yang memiliki beragam tradisi dalam masyarakatnya, di Indonesia juga berlaku hukum adat sebagai hukum asli. Belum lagi penetrasi ajaran-ajaran hukum Islam dalam kehidupan bangsa Indonesia sebagai konsekuensi penduduknya yang mayoritas muslim. Sehingga di beberapa daerah hukum adat turut pula dipengaruhi oleh nilai-nilai ajaran Islam.
Sifat keberlakuan hukum adat di Indonesia sendiri cukup kuat, karena tumbuh dan berkembang dari kebiasaan-kebiasaan sehari-hari masyarakat adat dan telah dikonstituir oleh pengetua adat, yang jika dilanggar maka akan mendapat akibat hukum berupa kecaman atau dikucilkan dari kehidupan bersama, dibuang ke daerah lain, terputusnya komunikasi dengan sanak keluarga, hingga hukuman fisik berupa kerja berat atau denda berupa penggantian sejumlah harta miliknya.
Asas konkordasi atas sistem hukum Eropa Kontinental yang dianut Indonesia tidak lepas dari pengaruh Belanda yang pernah menjajah Indonesia selama ratusan tahun lamanya. Sistem hukum Belanda sendiri merupakan sistem hukum yang mengadopsi Codex Napoleon yang bersumber dari hukum Romawi. Karena sistem ini yang berkembang kali pertama adalah hukum perdatanya yang mengatur hubungan individu semua anggota masyarakat, maka sistem hukum Eropa Kontinental sebagaimana diadopsi Belanda dan berlaku di Indonesia disebut sebagai civil law system.
Berdasarkan asas konkordansi pula sejak tahun 1848 hukum di Nederland berlaku bagi seluruh penduduk di Hindia Belanda. Pada waktu itu penduduk Hindia Belanda dibagi atas tiga golongan: Eropa, Timur Asing, dan Bumi Putra. Golongan penduduk bukan Eropa dapat menundukkan diri pada hukum Eropa baik secara sukarela maupun diam-diam. Kodifikasi hukum Eropa ini terdiri dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHDagang), dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHPidana). Dalam perkembangannya berbagai materi dalam KUHPerdata dan KUHDagang setelah Indonesia merdeka memisahkan diri dalam bentuk lahirnya undang-undang tersendiri, seperti Undang-Undang Pokok Agraria, Undang-Undang Tenaga Kerja, Undang-Undang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Merk, atau Undang-undang Rahasia Dagang.
Di Belanda sendiri ketiga kitab undang-undang tersebut telah mengalami berkali-kali perubahan, namun di Indonesia perubahan terjadi melalui mekanisme pembentukan berbagai undang-undang baru yang dulunya diatur dalam KUHPerdata, KUHDagang dan KUHPidana. Perubahan undang-undang ini juga terjadi oleh karena adanya keputusan-keputusan pengadilan yang menetapkan penafsiran terhadap undang-undang tersebut dan akhirnya menjadi yurisprudensi.
Setelah Indonesia merdeka dan mengundang kembali datangnya investasi asing pada tahun 1967, maka mendorong perdagangan internasional Indonesia ke pasar dunia, dan berusaha mendapat pinjaman-pinjaman luar negeri dari negara-negara maju. Akibatnya lambat laun pengaruh common law secara disadari atau tidak menginfiltrasi perkembangan hukum di Indonesia.
Common law mempengaruhi hukum Indonesia melalui perjanjian-perjanjian atau konvensi-konvensi internasional di mana Indonesia menjadi anggotanya. Mulai perjanjian antara para pengusaha, lahirnya institusi-institusi keuangan baru, hingga pengaruh para sarjana hukum yang mendapat pendidikan di negara-negara Common Law seperti Amerika Serikat, Inggris dan Australia. Penetrasi common law dalam sistem hukum Indonesia lebih banyak diakibatkan keterlibatan Indonesia menjadi anggota berbagai konvensi internasional, di mana sistem common law adalah dominan.
Dalam hukum ekonomi, perjanjian GATT (General Agreement on Tarif and Trade), WTO (World Trade Organisation), TRIMs (Trade Related Investment Measures) atau peraturan di bidang investasi yang berhubungan dengan perdagangan, dan TRIPs (Trade Releted Intellectual Property Rights) atau peraturan yang berhubungan dengan hak milik intelektual, banyak mempengaruhi undang
undang di bidang hak milik dan investasi di Indonesia. Begitupun datangnya modal asing yang dalam implementasinya melahirkan sistem seperti Joint Venture Agreement, Franchise Agreement, maupun pola pinjaman jangka pendek dalam sistem Commercial Paper (CP), semuanya merupakan bentuk-bentuk kontrak dalam sistem common law.
Belum lagi isu-isu pemanasan global yang membawa keterlibatan organisasi-organisasi lingkungan hidup internasional secara tidak langsung pada ajaran Legal Standing, atau Class Action sebagai bentuk gugatan masyarakat terhadap perlindungan hak-hak konsumennya, pun Derivative Action sebagai cara dalam gugatan pemegang saham minoritas kepada direksi dan komisaris perseroan terbatas atas nama perusahaan. Semua penyelesaian hukum tersebut sama sekali tidak dikenal dalam sistem civil law.
Tampak dari gambaran di atas, Indonesia adalah penganut pluralisme hukum, meliputi; Hukum Adat, Hukum Islam, Civil Law, dan Common Law yang kesemuanya hidup berdampingan. Keanekaragaman sistem hukum yang ada menjadikan pembangunan hukum di Indonesia sulit untuk diciptakannya suatu unifikasi hukum yang berlaku menyeluruh. Unifikasi hanya terbatas pada bidang-bidang hukum yang netral, seperti ekonomi, perdagangan, perburuhan, dan pidana. Sebaliknya Unifikasi tidak dapat dilakukan pada bidang-bidang yang bersangkutan dengan agama dan adat, seperti perkawinan dan warisan, hak untuk mati, hak untuk menggugurkan kandungan, maupun perkawinan sesama jenis.
Dalam dunia kontemporer, dikenal tiga tradisi hukum yang utama, yakni civil law, common law, dan socialist law. Dari sudut perspektif sejarah dikenal dua model strategi pembangunan hukum, yaitu ortodoks (preventif) dan responsif. Strategi pembangunan hukum ortodoks mengandung ciri keterlibatan sangat dominan lembaga-lembaga negara (eksekutif dan legislatif) dalam menentukan arah pembangunan bagi masyarakat. Strategi ini biasanya dianut oleh negara-negara dengan sistem hukum civil law dan socialist law. Sedangkan strategi pembangunan hukum responsif mengandung ciri adanya peranan besar lembaga peradilan dan partisipasi luas kelompok-kelompok sosial atau individu di dalam masyarakat dalam menentukan arah perkembangan hukum. Keadaan ini memungkinkan dihasilkannya produk hukum yang lebih responsif terhadap kebutuhan sosial atau individu dalam masyarakat. Dalam pengertian demikian, maka tradisi hukum kebiasaan dan hukum 18
adat dalam sistem common law adalah penganut strategi pembangunan hukum responsif.
Mengamati perkembangan hukum adat yang semakin mendapat tempat dalam konstitusi negara UUD RI Tahun 1945 pada Pasal 18B ayat (2), yang jika dihubungkan dengan arah pembangunan hukum di Indonesia yang cenderung dogmatis dan pragmatis, maka sesungguhnya pada skala nasional di Indonesia yang menganut civil law system antara civil law maupun common law dapat dikatakan tidak ada lagi perbedaan signifikan. Hal ini tampak dalam undang-undang tentang kekuasaan kehakiman, dinyatakan bahwa “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Dari rumusan klausul di atas tampak bahwa hakim di Indonesia diwajibkan bersikap aktif dalam menggali dan menemukan hukum (rechtsvinding dan rechtsvorming). Konsekuensinya pengadilan atau hakim juga merupakan unsur yang cukup penting dalam pembangunan hukum, terutama fungsinya dalam membuat hukum baru. Kenyataan ini menempatkan sistem hukum di Indonesia juga telah masuk ke dalam alam sistem hukum common law.
Sebagaimana dikemukakan dalam Teori Hukum Pembangunan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja, bahwa hukum tidak hanya meliputi asas dan kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan juga termasuk lembaga dan proses dalam mewujudkan berlakunya kaidah itu dalam kenyataan di masyarakat. Kata asas menggambarkan bahwa penggagas memperhatikan pandangan aliran hukum alam, karena asas itu ada kaitannya dengan nilai-nilai moral tertinggi, yaitu keadilan. Adapun kata kaidah menggambarkan bahwa Mochtar memperhatikan pengaruh aliran Positivisme Hukum, karena kata kaidah mempunyai sifat normatif. Kata lembaga menggambarkan bahwa teori tersebut memperhatikan pandangan Mazhab Sejarah, karena yang dimaksud disini adalah lembaga hukum adat. Sedangkan kata proses dimaksudkan pada proses disini adalah proses terbentuknya putusan hakim pengadilan.
Kesimpulannya, perkembangan hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh keanekaragaman agama, adat, masyarakat dan sistem hukum yang hidup di Indonesia itu sendiri, civil law, common law, maupun hukum-hukum adat yang ada.
Terdapat lima sistem hukum di dunia, yaitu; sistem hukum sipil (civil law), sistem hukum Anglo-Saxon (common law), sistem hukum agama, sistem hukum adat, dan sistem hukum negara-negara blok timur (sosialis). Dari kelima sistem hukum tersebut, civil law system dan common law system merupakan dua sistem hukum yang mendominasi sistem-sistem hukum di negara-negara belahan dunia.
Civil law system merupakan sistem hukum yang berkembang di dataran Eropa. Sistem ini menekankan pada penggunaan aturan-aturan hukum yang sifatnya tertulis dalam sistematika hukumnya. Karena awal perkembangannya di daratan Eropa Timur sehingga dikenal sebagai sistem Eropa Kontinental.
Dalam sistem Hukum Eropa Kontinental, kodifikasi hukum merupakan sesuatu yang sangat penting untuk terwujudnya kepastiam hukum. Prinsip utama yang menjadi dasar sistem hukum Eropa kontinental adalah bahwa hukum memperoleh kekuatan mengikat karena diwujudkan. Dalam sistem Eropa Kontinental hakim tidak memiliki keleluasaan untuk menciptakan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat masyarakat, dan hanya boleh menafsirkan peraturan-peraturan yang telah ada berdasarkan wewenang yang melekat. Putusan hakim dalam suatu perkara hanyalah mengikat pihak yang berperkara saja. Sumber hukum dalam sistem civil law, meliputi: peraturan perundang-undangan, kebiasaan-kebiasaan yang hidup dan diterima sebagai hukum oleh masyarakat selama tidak bertentangan dengan undang-undang, traktat atau perjanjian antarnegara, dan yurisprudensi yakni putusan hakim di semua tingkatan badan peradilan
Bertolak belakang dengan sistem civil law yang diajarkan melalui universitas-universitas, sistem common law hidup dan berkembang secara turun temurun dalam kebiasaan-kebiasaan di masyarakat. Sumber hukum tertinggi hanyalah kebiasaan masyarakat yang dikembangkan di pengadilan dan telah menjadi keputusan pengadilan. Hakekat common law sebagaimana dipraktekkan negara Inggris ketika itu adalah sebuah judge made law, yaitu hukum yang dibentuk oleh peradilan hakim-hakim kerajaan dan dipertahankan oleh kekuasaan yang diberikan kepada preseden-preseden (putusan terdahulu) para hakim. Sumber-sumber hukum dalam sistem common law, meliputi: yurisprudensi yakni hakim mempunyai wewenang yang luas untuk menafsirkan peraturan-peraturan hukum dan menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang berguna sebagai pegangan bagi hakim–hakim lain dalam memutuskan perkara sejenis, statute law yakni peraturan yang dibuat oleh parlemen Inggris seperti layaknya undang-undang dalam sistem kontinental, custom yakni kebiasaan yang sudah berlaku selama berabad-abad di Inggris sehingga menjadi sumber nilai-nilai, dan Reason (akal sehat) yakni berfungsi sebagai sumber hukum jika sumber hukum yang lain tidak memberikan penyelesaian terhadap perkara yang sedang ditangani oleh hakim
Sistem hukum di Indonesia saat ini merupakan sistem hukum yang didasarkan pada asas konkordasi, yakni menerima secara sukarela untuk memperlakukan sistem hukum yang berasal dari daratan Eropa Kontinental. Namun Indonesia juga memiliki beragam tradisi dalam masyarakatnya, yang di dalamnya berlaku hukum adat sebagai hukum asli. Belum lagi penetrasi ajaran-ajaran hukum Islam yang di beberapa daerah turut mempengaruhi hukum adat.
Setelah Indonesia merdeka dan mulai masuknya investasi asing, lambat laun pengaruh common law menginfiltrasi perkembangan hukum di Indonesia. Akibatnya di Indonesia terdapat pluralisme hukum, meliputi; Hukum Adat, Hukum Islam, Civil Law dan Common Law yang kesemuanya hidup berdampingan. Sehingga perkembangan hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh keanekaragaman agama, adat, masyarakat dan sistem hukum yang hidup di Indonesia itu sendiri, civil law, common law, maupun hukum-hukum adat yang ada.

Analisa kasus

JAYAPURA - Pergantian beberapa kepala SKPD di lingkungan  Provinsi Papua yang dilakukan oleh Penjabat Gubernur, drh. Constant Karma, terus menuai protes.  Senin, (11/2)  kemarin, ratusan mahasiswa, pemuda, dan organisasi kepemudaan mendatangani Kantor Gubernur Provinsi Papua, untuk menyampaikan aspirasinya kepada Penjabat Gubernur Provinsi Papua, terkait  pelantikan dan pergantian sejumlah pejabat eselon II di Pemda Provinsi Papua. Namun sayangnya Penjabat Gubernur Provinsi Papua, drh.Constant Karma tidak bertemu dengan para pendemo karena lagi kesibukan. Massa hanya ditemui , Asisten III Bidang Umum, Drs. Waryoto, dan berjanji akan menyampaikan aspirasi para pendemo kepada Penjabat Gubernur Provinsi Papua.
            Pada kesempatan itu, dalam konferensi persnya, para pemuda, mahasiswa, masyarakat, menyatakan akan mem-PTUN-kan (menggugat) Penjabat Gubernur Provinsi Papua, ke PTUN Jayapura. Ketua Koalisi Mahasiswa dan Pemuda Papua Peduli Rakyat (KMP3R) Papua, Kaleb V.B. Woisiri, mengatakan, drh. Costan Karma dilantik sebagai Penjabat Gubernur Provinsi Papua dengan tujuan sukseskan Pemilukada Gubernur (Pilgub) Provinsi Papua, tetapi pada kenyataannya tidak berkonsentasi dalam tugas pokoknya, tetapi justru memanfaatkan posisinnya untuk melakukan mutasi pejabat struktural, yang pada dasarnya bukan merupakan kewenangannya.
            Berdasarkan mutasi pejabat struktural, pihaknya meyakini bahwa mutasi pejabat dilakukan sepihak oleh Penjabat Gubernur karena menghiraukan edaran  Menteri Dalam Negeri (Mendagri) tentang melarang mutasi pejabat struktural enam bulan sebelum Pilkada perkecualian, mutasi pejabat struktural di masa menjelang Pilkada untuk mengisi jabatan lowong dengan tidak melakukan pemberhentian pejabat (nonjob), menurunkan jabatan (demosi), dan mengalihkan pejabat struktural menjadi fungsional. Hal ini dilakukan untuk menghindar dari politisasi PNS agar netralitas PNS dihormati dan dijaga.
              “Larangan mutasi pejabat struktural dituangkan dalam Surat Edaran Mendagri Nomor 800/5335 SJ tertanggal 27 Desember 2012, tentang Pelaksanaan Mutasi Pejabat Struktural Menjelang Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah,” ungkapnya dalam keterangan persnya kepada wartawan di Prima Garden Jayapura, Senin, (11/2).
Larangan Mendagri berdasarkan Pasal 28 Huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang melarang kepalah daerah dan wakil kepalah daerah membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politik-nya yang bertentangan dengan peraturan perundangan, merugikan kepentingan umum, dan meresahkan sekolompok masyarakat, atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat lain. Selain itu sesuai UU No 43/1999 tentang pokok-pokok kepegawaian, baca koran (KOMPAS_Sabtu, 5 Januari 2013
            “Mutasi jabatan ini yang kadang menghantui pejabat struktural. Mendagri, Gamawan Fauzi melarang kepala daerah memutasi pejabat struktural enam bulan menjelang pemilihan umum kepala daerah. Larangan ini untuk menghilangkan politisasi pegawai negeri sipil menjelang Pilkada,” jelasnya.
            Bila mutasi tetap dilakukan dalam masa enam bulan sebelum Pilkada, Mendagri mengancam memberikan teguran kepada kepala daerah dan juga bila berkeras melaksanakan mutasi, sebagai pejabat publik, kepala daerah bisa digugat ke PTUN. Sebab, setiap keputusan pejabat publik bisa diuji. Selain itu, Mendagri juga berjanji tidak akan menyetujui surat keputusan mutasi. Meski demikian, mutasi tetap dilakukan hanya untuk mengisi jabatan yang lowong. Mutasi tidak boleh dilakukan dengan memberhentikan pejabat aktif, menurunkan jabatan (demosi), dan mengalihkan pejabat struktural menjadi pejabat fungsional.
             Mengacuh dari informasi edaran Mendagri, KMP3R bersama dengan masyarakat meyakini bahwa, pertama, tindakan mutasi pejabat struktural oleh Penjabat Gubernur drh. Constan Karma M.Si dalam masa kepemimpinan sejak dilantik menjadi Gubernur Provinsi Papua, sampai dengan saat ini terhitung sudah tiga (3) bulan, dinilai telah banyak melakukan kebijakan yang sangat bertentangan dengan tugas pokok dan fungsi sebagai Plt Gubernur.
              “Adapun kita ketahui bersama bahwasanya tugas pejabat gubernur provinsi papua adalah mengawal pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah Provinsi Papua sampai dengan dilantiknya Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua definitif Periode 2013 – 2018,” tukasnya. Dengan melihat sikap Penjabat Gubernur Constan Karma si yang bertindak semena-mena dengan melakukan kebijakan yang terkesan arogansi, diskriminasi dan mengandung unsur Nepotisme dalam menganti dan mengangkat pejabat struktural di pemerintahan Provinsi Papua.
            Menurut analisis pihaknya, tidak ada korelasi antara larangan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fausi  ‘Surat Edaran Mendagri Nomor 800/5335 SJ tertanggal 27 Desember 2012 Melarang Kepala Daerah Memutasi Pejabat Struktural enam bulan menjelang Pilkada’ dengan Surat Keputusan Gubernur Papua SK. No. 821.2-112 tertanggal 1 Februari 2013, yang menurut pernyataan Pjl Gubernur telah mendapat  persetujuan Mentri Dalam Negeri, sesuai dengan surat No.891.212/425/SJ  tanggal 30 januari 2013 yang mana telah diberitakan pada media koran cenderawasih pos dan RRI selasa 05 Februari 2013 lalu dan juga media-media lainnya belakangan ini.
            Terkait dengan masalah dimaksud, KMP3R sebagai oragan taktis yang berorientasi pada kontrol sosial yang berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik dalam waktu dekat akan menyurat ke Mendagri untuk mempertanyakan persetujuan mutasi pejabat struktutal di Pemerintah Provinsi Papua dan meminta keterangan dari Mendagri alasan memberikan persetujuan mutasi pejabat struktural di Pemda Provinsi Papua.
  Ditempat yang sama, Ketua Himapura,Wakil Ketua Asosiasi Mahasiswa Mamta, Petrus Hamungkwarung, menandaskan, sikap Gubernur Constants Karma tidak etis terhadap pergantian jabatan dimaksud, dan dinilai seakan-akan diboncengi kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, dan lainnya, tanpa melihat substansi aturan secara umum yang berlaku dinegara ini.
             Untuk itu ditegaska, agar GubernurConstant Karma segera cabut SK pelantikan tersebut, sebab jika tidak, jangan kaget jika ada situasi yang tidak menyenangkan di Kantor Gubernur Provinsi Papua. Karena pergantian jabatan itu sarat dengan konflik.
“Kami tidak lihat siapa yang dilantik dan lain sebagainya, tapi kalau kinerjanya bagus, kenapa harus diganti. Masa seorang Gubernur menunjukan saudaranya sebagai Kepala Dinas Kehutanan, apa memangnya Provinsi Papua itu kantor keluarga kah? Penempatan pejabat harus ada pemerataan. Dalam waktu dekat kami akan turun jalan, terkait dengan menuntut pembantalan SK. Kami tidak mau sesama orang Papua hidup dalam saling membenci dan loain sebagainya,” imbuhnya.
              Senada dengan itu, Koordinator, Jaringan Aksi Perubahan Indonesia (Japi) Papua, Andre R. Wonatorey, menyampaikan, pergantian pejabat mengancam ketenangan rakyat Papua, sebab proses yang beliau bangun, itu adalah proses pembunuhan karakter orang Papua secara langsung.
              “Ini sangat kecurangan, mari kita berjuang, supaya jangan ada lagi orang Papua yang mati sia-sia diatas Tanah Papua, akibat dari kebijakan yang salah. Kami mau ada kebenaran, keadialan, jangan kebijakan yang salah semua di Tanah Papua ini menjadi sia-sia,” beberanya.
             Sementara itu, Kepala Bidang Politik Hukum dan HAM BEM Uncen Jayapura, Paulinus Ohee, menuturkan, Mahasiswa sebagai agen sosial kontrol, jadi mahasiswa bukan menjadi sekutu, tugas mahasiswa ialah memperbaiki hal yang salah untuk masa depan yang lebih baik.
             Oleh karena itu, pihaknya sudah sewajarnya menyoroti persoalan pergantian pejabat struktural yang kenyataannya sudah menyalahi aturan yang berlaku, karena pergantian pejabat itu kewenangan Gubernur defenitif.
              “Kami inginkan Papua yang baik, bukan Papua yang menyesatkan akibat kebijakan yang salah,” tuturnya.  Sama halnya, Mantan Ketua BEM Uncen Periode 2008-2010, Decky Ovide, S.Sos, menandaskan, sorotan pihaknya itu tidak ada tendensi politik, dan tidak ada kaitanya sama sekali dengan Pilkada. Pihaknya hanya menyoroti apa yang dinilai salah dan tidak memberikan pendidikan yang baik bagi masyarakat.
  “Masyarakat harus wawasan terbuka, dan kritis yang betul, jangan komentar lalu pergi ke pejabat itu untuk ambil uang tutup mulut. Kalau mau perbaiki Papua, ya kita perbaiki sistem birokras pemerintahan dulu yang amburadul sekarang ini. Ini yang nanti kami pertanyakan masalah pergantian pejabat ini ke Mendagri. Ini ada mafia birokrasi yang dimainkan,” pungkasnya. DPRP : Pergantian Jabatan Internal Pemprov Sementara itu , DPRP memandang mutasi jabatan adalah sesuatu yang lumrah dalam organsisasi terutama pemerintahan dan merupakan urusan internal.
            ‘’DPRP menilai pergantian pejabat eselon di lingkungan Pemprov Papua adalah hal yang biasa dan itu adalah salah satu mekanisme didalam berorganisasi ada promosi jabatan guna penyegaran,’’ tandas Ketua Komisi D DPRP Yan Mandenas, Senin 11 Febuari menyikapi pro kontra pergantian jabatan Kepala Dina PU Provinsi Papua dari Jansen Monim kepada Maikel Kambuaya.  Yang penting, lanjutnya, pejabat baru yang dipercaya memimpin sebuah dinas, harus mampu mengemban kepercayaan yang diberikan dengan menunjukan kinerja yang baik. “Kepercayaan yang diberikan ini harus mampu diemban dengan baik, dengan mampu menyelesaikan program-program yang ada dengan bagus serta benar-benar dinikmati masyarakat,’’papar Yan Mandenas.
            Yan Mandenas optimis pejabat baru Kepala Dinas PU Provinsi Papua Maikel Kambuaya akan mampu menjalankan program-program infrastruktur dengan baik, sebab yang bersangkutan sudah sangat berpengalaman dalam bidangnya. ‘’Maikel Kambuaya bukan orang baru di PU, tentu dia akan mampu memgemban kepercayaan yang diberikan,’’singkatnya. Dan, tambah Yan Mandenas, Komisi D DPRP yang membidangi infrastruktur siap bekerja sama dengan pejabat baru guna mensukseskan program-program pembangunan infrastruktur di Provinsi Papua. ‘’Sebagai mitra kerja, Komisi D siap bekerja sama dengan pejabat baru PU, untuk menjalankan program-program pembangunan infrastruktur di Papu
a, terutama jalan, jembatan dan sungai,’’terangnya. Mengenai adanya pihak yang tidak setuju dengan langkah Penjabat Gubernur Provinsi Papua mengganti Kepala Dinas PU dari Jansen Monim, Yan Mandenas menegaskan, pro kontra dalam pergantian suatu jabatan adalah hal yang biasa, tapi sekali lagi saya katakana itu urusan internal Pemprov Papua. ‘’Memang sebelum mengganti pejabat harusnya lebih dulu dibangun komunikasi, agar nantinya jangan ada yang kaget, tapi yang pasti itu urusan internal eksekutif,’’tandasnya.

MenLH Menangkan Gugatan Kasus Kebakaran Lahan di Rawa Tripa-Aceh

Jakarta, 13 Januari 2014 –  Hari ini, Kementerian Lingkungan Hidup menyelenggarakan Konferensi Pers “Refleksi Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia” yang membahas mengenai perkembangan berbagai penanganan kasus hukum lingkungan. Pertemuan diawali dengan penjelasan tentang menangnya gugatan perdata Menteri Lingkungan Hidup RI terhadap PT Kallista Alam oleh Pengadilan Negeri Meulaboh, Aceh terkait kasus pembukaan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit dengan cara pembakaran. Akibat kebakaran lahan tersebut, negara mengalami kerugian dan terjadi kerusakan lingkungan seperti hilangnya lahan hutan konservasi di Kawasan Ekosistem Lauser (KEL) dan hampir punahnya beragam satwa yang dilindungi.

Selain kasus ini, dibahas pula perkembangan penanganan terhadap kasus pembakaran lahan dan kasus impor limbah B3 yang ditangani oleh Kementerian Lingkungan Hidup dengan narasumber Menteri Lingkungan Hidup, Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, MBA dan Deputi V KLH Bidang Penaatan Hukum Lingkungan, Drs. Sudariyono. Kementerian Lingkungan Hidup selama 2013 telah melakukan penegakan hukum lingkungan dengan 3 (tiga) instrumen penegakan yaitu (i) pengelolaan pengaduan masyarakat dan penerapan sanksi administrasi, (ii) penyelesaian sengketa lingkungan hidup (penegakan hukum perdata) dan (iii) penegakan hukum pidana. Upaya penegakan hukum lingkungan tersebut untuk melindungi dan melestarikan lingkungan hidup dari kegiatan-kegiatan perusahaan yang telah melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Kemenangan MenLH atas gugatan PT Kallista Alam oleh Pengadilan Negeri Meulaboh, Aceh, berdasarkan Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Meulaboh Perkara Nomor: 12/Pdt.G/2012/PN-MBO, tentang Gugatan Menteri Lingkungan Hidup Terhadap PT Kalista Alam pada 8 Januari 2014. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Meulaboh, Aceh, antara lain berisi amar putusan yang berbunyi:• Menyatakan Tergugat telah melakukan Perbuatan Melanggar Hukum.• Menghukum Tergugat membayar ganti kerugian materiil sebesar Rp.114.333.419.000 (Seratus Empat Belas Milyar Tiga Ratus Tiga Puluh Tiga Juta Empat Ratus Sembilan Belas Ribu Rupiah).• Menghukum Tergugat untuk melakukan tindakan pemulihan lingkungan hidup dengan biaya Rp. 251.765.250.000 (Dua Ratus Lima Puluh Satu Milyar Tujuh Ratus Enam Puluh Lima Juta Dua Ratus Lima Puluh Ribu Rupiah). • Memerintahkan Tergugat tidak menanam di lahan gambut seluas 1000 ha.
Dalam Konferensi Pers hari ini, Menteri Lingkungan Hidup, Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, MBA, mengatakan, “Keberhasilan memenangkan gugatan perkara pembakaran lahan ini merupakan  pembelajaran yang baik bagi kami bawa prinsip “polluter pay principle” dapat berlaku. Pembayaran ganti rugi material dan pemulihan lingkungan sebesar lebih dari Rp. 300.000.000,- dapat menjadi efek jera bagi perusahaan perusak lingkungan lainnya. Upaya penegakan hukum lingkungan ini meningkatkan kepercayaan kami bahwa pemulihan lingkungan hidup dapat diselesaikan dengan pengadilan. Hal ini juga atas kerjasama yang baik antara KLH dengan Kejaksaan Agung dan tim kuasa hukum yang didukung oleh alat bukti yang kuat dan saksi ahli”.
Apresiasi diberikan MenLH kepada Jaksa Pengacara Negara (JPN) dari Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Tinggi Aceh. Selain itu, penghargaan kepada Hakim sekaligus Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh, Rachmawati, SH yang merupakan hakim bersertifikat lingkungan yang pertama kali memutus perkara lingkungan hidup.
PT. Kallista Alam merupakan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang memiliki area lahan kurang lebih seluas 1.605 hektar yang berada dalam “Kawasan Ekosistem Leuser”, berlokasi di Desa Pulo Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh. Awal diajukannya gugatan oleh kuasa hukum MENLH berdasarkan pada Laporan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) tertanggal 11 April 2012 serta tanggal 26 Juli 2012 kepada MENLH yang menyebutkan bahwa terdapat titik panas (hotspot) yang mengindikasikan terjadinya dugaan pembakaran lahan di wilayah perkebunan PT. Kallista Alam (Data hotspot tersebut bersumber dari MODIS yang dikeluarkan oleh NASA).
Data dan informasi tersebut lalu dijadikan sebagai dasar bagi Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), melalui Deputi Penaatan Hukum Lingkungan  untuk membentuk dan menugaskan suatu tim lapangan yang beranggotakan para ahli, Jaksa Pengacara Negara dari Kejagung dan Kejati Aceh beserta staf KLH dan perwakilan Pemerintah Provinsi setempat untuk melakukan verifikasi lapangan pada tanggal 5 Mei 2012 dan 15 Juni 2012. Selanjutnya disimpulkan bahwa PT. Kallista Alam telah melakukan perbuatan melanggar hukum yaitu pembakaran lahan, atau setidak-tidaknya telah membiarkan terjadinya kebakaran lahan sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan hidup dengan luas total lahan yang terbakar seluas 1.000 hektar.
Berdasarkan hasil kesimpulan tim lapangan dan penelitian oleh Ahli Kebakaran Hutan dan Ahli Kerusakan Lahan didapati bahwa terjadinya kebakaran lahan seluas 1000 hektar tersebut telah menimbulkan kerugian lingkungan yang harus dibayarkan PT. Kallista Alam kepada Negara, atas kerugian lingkungan yang timbul selanjutnya MENLH melalui Kuasa Hukum bersama Jaksa Pengacara Negara Kejagung dan Kejati Aceh mengajukan gugatan ke PN Meulaboh pada tanggal 8 November 2012. Setelah gugatan diterima, Majelis Hakim lalu memanggil para Pihak untuk melakukan proses mediasi yang pada akhirnya gagal dan persidangan pada pokok perkara dilanjutkan, setelah melewati beberapa persidangan di PN Meulaboh dan 2 (dua) kali sidang lapangan / Pemeriksaan Setempat (untuk mengetahui kondisi kebakaran dan mengukur luasan kebakaran) maka telah dijadwalkan rencana pembacaan putusan persidangan.
Selain kasus kebakaran lahan di Rawa Tripa, terdapat beberapa kasus yang ditangani oleh Kementerian Lingkungan Hidup yaitu Gugatan MENLH terhadap PT. Merbau Pelalawan Lestari (PT.MPL) di Kab. Pelalawan – Riau, Gugatan MENLH terhadap PT. Surya Panen Subur (PT.SPS) di Meulaboh – Aceh, dan Pengajuan Peninjauan Kembali perkara gugatan MENLH terhadap PT. Selatnasik Indokwarsa di Bangka Belitung.

Faktor yang menyebabkan warga negara dapat menggugat penjabat :
-          Penjabat bertindak sewenag-wenang dan mengabaikan undang-undang.
-          Penjabat bertindak yang merugikan warga negara.
-           


1 http://id.wikipedia.org/wiki/sistem_hukum_di_dunia


Tidak ada komentar:

Posting Komentar