Pada
berbagai kasus perdebatan konsep atau sistem hukum yang akan digunakan dalam
penyelesaian suatu perkara, seringkali masyarakat umum dihadapkan pada
pilihan-pilihan penyelesaian secara adat, negara, ataukah berdasar norma-norma
agama. Menjadi menarik karena semua cara penyelesaian tersebut tidak jarang
digunakan antara satu dengan lainnya di wilayah dengan budaya yang berbeda,
atau bahkan di wilayah yang sama untuk kasus sama dengan waktu dan penduduk
yang berbeda generasi. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan beragam
kebudayaan, sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kenyataan pengakuan
hukum-hukum yang hidup di masyarakat selain hukum negara.
Beberapa
orang lantas menilai sistematika hukum di indonesia tidak memiliki kejelasan
arah dan konsistensi. Secara konstitusi telah memiliki hirarki peraturan
perundang-undangan dengan berbagai undang-undang yang telah terkodifikasi
maupun parsial. Ini adalah ciri bahwa Indonesia merupakan penganut civil law.
Namun pada pelaksanaannya hukum negara tersebut menjadi kehilangan
eksistensinya tatkala dihadapkan pada kemauan masyarakat yang sangat kuat untuk
menerapkan hukum mereka sendiri atas persoalan-persoalan kemasyarakatan yang
dihadapi. Padahal perilaku hukum yang demikian merupakan ciri dari penerapan
sistem Common Law. Belum lagi dalam beberapa persoalan pembagian harta,
masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim dihadapkan pada pilihan pembagian
menurut peraturan negara ataukah secara agama yang penyelesaiannya tentu pada
ruang peradilan yang berbeda pula.
Barangkali beberapa
orang boleh mengatakan, bahwa penerimaan asas konkordasi oleh Pemerintah
Indonesia terhadap hukum warisan kolonial Belanda yang terkodifikasi dalam KUHP
(Wetboek van Strafrecht) maupun KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek),
menyebabkan sistem hukum Indonesia banyak dipengaruhi oleh sistem hukum Eropa
Kontinental (civil law). Akan tetapi apakah hal tersebut lantas
menjadikan sistem hukum di Indonesia adalah civil law system? Belum
tentu! Karena pengaruh bukanlah identik, dipengaruhi bukan berarti dianut.
Lantas
dengan penerapan hukum-hukum adat di beberapa wilayah Indonesia, atau beberapa
konsep hukum ekonomi yang mengadopsi konsep-konsep sistem hukum Anglo Saxon,
seperti penjatuhan sanksi bangkrut dengan semua konsekuensi ekonominya
sebagai hukuman bagi debitur nakal, atau mengedepankan penyelesaian sengketa
melalui proses perdamaian di luar sidang berupa mediasi dan arbitrase, yang
semuanya tidak dikenal dalam civil law system, apakah lantas membuat
Indonesia dianggap menganut common law system? Tentu juga tidak!
Sistem
hukum Indonesia adalah sistem hukum yang unik. Beberapa sarjana hukum
mengatakan bahwa sistem hukum di Indonesia adalah sistem hukum Indonesia itu
sendiri. Sebuah sistem yang dibangun dari proses penemuan, pengembangan,
adaptasi, bahkan kompromi dari beberapa sistem yang telah ada. Hingga kemudian
lahirlah Teori Hukum Pembangunan yang dipelopori Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmaja.
Teori
Mochtar tersebut dikenal juga sebagai Madzhab Unpad, karena profesinya sebagai
guru besar hukum di Universitas Padjajaran. Menurut Mochtar, hukum adalah
sarana pembaruan masyarakat. Pandangannya tentang konsep hukum tersebut
sebenarnya merupakan modifikasi dari konsep hukum Roscoe Pound yang merupakan
pelopor aliran sociological jurisprudence, yakni hukum ideal adalah
hukum yang dibuat dengan memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat (law
as a tool of social engineering). Aliran ini memiliki pandangan nyaris sama
dengan madzhab sejarah yang dipelopori Von Savigny, bahwa suatu hukum tidak
dapat berlaku secara universal karena keberlakuannya sangat bergantung pada volkgeist
atau jiwa rakyat yang mendiami suatu bangsa. Kedua pandangan dalam aliran
tersebut yang menjiwai teori hukum pembangunan, sesungguhnya adalah yang
melatari penerapan common law di negara Inggris, Amerika, dan beberapa
negara jajahan Inggris lainnya.
Dari
uraian latar belakang di atas, tampak bahwa sistematika hukum di Indonesia
sangat dipengaruhi oleh civil law system, namun dalam praktek di
beberapa masyarakat adat Indonesia yang majemuk juga tidak lepas dari
karakteristik common law system. Setidaknya ada lebih dari 23 sistem
hukum adat di Indonesia, diantaranya; Aceh, Gayo dan Batak, Nias, Minangkabau,
Mentawai, Sumatra Selatan, Enggano, Melayu, Bangka dan Belitung, Kalimantan
(Dayak), Sangihe-Talaud, Gorontalo, Toraja, Sulawesi Selatan (Bugis/Makassar),
Maluku Utara, Maluku Ambon, Maluku Tenggara, Papua, Nusa Tenggara Barat dan
Timur, Bali dan Lombok, Jawa dan Madura, Jawa Mataraman, serta Jawa Barat
(Sunda).
Hal tersebut
menimbulkan sebuah pertanyaan sebagai persoalan atas sistematika hukum yang ada
di Indonesia, yaitu: “Sistem hukum apakah sesungguhnya yang hidup dan
berkembang di negara Indonesia?”. Melalui artikel ini akan menguraikan sejarah
tentang civil law system dan hubungannya dalam perkembangan hukum di
Indonesia.
Sistem,
secara terminologi adalah keseluruhan bagian atau komponen yang saling
mempengaruhi satu sama lain untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Sehingga
sistem hukum dunia dapat dimaknai sebagai kesatuan atau keseluruhan kaidah
hukum yang berlaku di negara-negara atau daerah di dunia untuk mencapai tujuan
hukum di masing-masing negara atau daerah tersebut. Pada masa kini, sistem
hukum dunia terdiri dari; sistem hukum sipil (civil law), sistem hukum
Anglo Saxon (common law), sistem hukum agama, sistem hukum adat, dan
sistem hukum negara-negara blok timur (sosialis).
Dari
kelima sistem hukum yang ada, dua sistem hukum sangat mendominasi sistem-sistem
hukum yang digunakan banyak negara di dunia, yaitu civil law system dengan
istilah Rechtstaat dan common law system dengan istilah Rule
of Law. Berbagai literatur hukum Indonesia yang ada nyaris tidak ada yang
menerjemahkan keduanya, karena memang sulit mencari padanan langsungnya.
Namun
demikian, mengacu definisi terminologi asal kata keduanya, common law dimaknai
sebagai hukum yang dibuat berdasarkan adat atau tradisi yang berlaku dalam
masyarakat, juga keputusan-keputusan hakim. Sistem hukum ini dulunya kebanyakan
tidaklah tertulis, tetapi kini banyak yang dikodifikasikan. Bukan sebagai
undang-undang, melainkan jurisprudence atas keputusan-keputusan yang
pernah dibuat. Meski sifatnya adalah hukum kebiasaan atau kasus per kasus, akan
tetapi common law tidaklah sama dengan hukum adat (customary law) yang
diakui keberadaannya di Indonesia maupun case law.
Berbeda dengan common
law, sejak awal civil law merupakan hukum yang dibuat berdasarkan
kodifikasi hukum yang dilakukan oleh lembaga yang oleh negara diberikan otoritas
untuk kepentingan tersebut, seperti lembaga legislatif. Selanjutnya secara
rinci kedua sistem tersebut diuraikan dalam pembahasan berikut ini.
Civil
law system merupakan sistem hukum yang berkembang di dataran Eropa.
Kekhasan sistem civil law terletak pada tekanannya dalam penggunaan aturan-aturan
hukum yang sifatnya tertulis dalam sistematika hukumnya. Awal perkembangannya
di daratan Eropa Timur sehingga dikenal sebagai sistem Eropa Kontinental. Sistem
ini kemudian disebarkan negara-negara Eropa Daratan kepada daerah-daerah
jajahannya.
Civil
law dikenal juga sebagai Romano-Germanic Legal System atau sistem
hukum Romawi-Jerman. Hal ini karena sejarah kelahiran sistem civil law yang
sangat dipengaruhi sistem hukum Kerajaan Romawi dan Negara Jerman kala itu.
Sebagai sistem hukum yang mendapat pengaruh kerajan Romawi, Civil law merupakan
sistem hukum tertua sekaligus paling berpengaruh di dunia.
Berawal
sekitar abad 450 SM, Kerajaan Romawi membuat kumpulan peraturan tertulis
pertama yang disebut sebagai “Twelve Tables of Rome”. Sistem hukum
Romawi ini menyebar ke berbagai belahan dunia seiring meluasnya Kerajaan
Romawi. Sepuluh abad kemudian, atau pada akhir abad V M oleh kaisar Romawi
Justinianus kumpulan-kumpulan peraturan ini dikodifikasikan sebagai Corpus
Juries Civilize (hukum yang terkodifikasi), yang penulisannya selesai pada
tahun 534 M. Ada empat hal yang dimuat dalam Corpus Juries Civilize, yaitu:
1. Caudex, yakni aturan-aturan dan putusan-putusan yang dibuat
oleh para kaisar sebelum Justinianus,
2. Novellae, yakni aturan-aturan hukum yang diundangkan pada masa
kekaisaran Justinianus sendiri,
3. Institutie, yakni suatu buku ajar kecil yang dimaksudkan
sebagai pengantar bagi mereka yang baru belajar hukum,
4. Digesta, yakni
sekumpulan besar pendapat para yuris romawi ketika itu mengenai ribuan
proposisi hukum yang berkaitan dengan semua hukum yang mengatur warga Negara
Romawi.
Menurut
sistem ini, hukum haruslah dikodifikasi sebagai dasar berlakunya hukum dalam
suatu negara. Ketika Eropa memiliki pemerintahan sendiri, hukum Romawi
digunakan sebagai dasar dari hukum nasional masing-masing negara.
Penemuan
Justinianus semakin mendapat tempat pada masa pencerahan dan rasionalisme (abad
XV-XVII M). Pandangan-pandangan para filsuf masa itu, seperti Huge de Groot
alias Grotius (1583-1645) yang menekankan pendekatan rasional dalam struktur
hukum dan perlunya penyusunan materi hukum secara sistematis, atau Christoper
Wolff (1679-1754) yang berkebangsaan Jerman dengan usahanya membangun sebuah
sistem hukum yang menyeluruh dan rasional berdasarkan metode ilmiah,
menyadarkan dan memunculkan semangat kodifikasi di berbagai negara Eropa.
Luasnya
kekuasaan Romawi hingga ke Eropa Timur yang berpusat di Konstantinopel,
menjadikan pengaruh sistem hukum romawi tidak terkikis kendati Kerajaan Romawi
telah runtuh, bahkan menjadi sumber kodifikasi hukum Eropa Kontinental.
Semangat rasionalisme yang menyebabkan revolusi Perancis, membawa negara
tersebut sejak 21 Maret 1804 menjadi peletak tata hukum baru melalui diterbitkannya
Code Civil yang merupakan bagian dari Codex Napoleon, yakni
kaidah-kaidah hukum Napoleon Bonaparte yang terkodifikasi dalam 3 buku; code
penal, code civil, dan code de commerce. Setengah abad kemudian di
Jerman juga terbentuk code civil pada tahun 1896.
Dalam
sistem Hukum Eropa Kontinental, kodifikasi hukum merupakan sesuatu yang sangat
penting untuk terwujudnya kepastian hukum. Sebagai bekas wilayah jajahan
Perancis, oleh Belanda code civil Perancis diadopsi menjadi KUHPerdata
pada tahun 1838. Begitupun Code de Commerce Perancis dijadikan sebagai
KUHDagang Belanda. Berdasarkan asas konkordansi keduanya dijadikan sebagai
undang-undang keperdataan dan perdagangan di negara-negara jajahan Belanda,
termasuk di Indonesia sejak tahun 1848 dan berlaku hingga sekarang.
Prinsip
utama yang menjadi dasar sistem hukum Eropa Kontinental adalah, bahwa hukum
memperoleh kekuatan mengikat karena diwujudkan. Model sistem seperti ini
dipelopori oleh diantaranya Immanuel Kant dan Frederich Julius Stahl. Menurut
Stahl konsep sistem hukum ditandai oleh empat unsur pokok:
1. Adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia,
2. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara yang didasarkan pada teori
trias politika,
3. Penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan undang-undang (wetmatig
bestuur), dan
4. Adanya
peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus perbuatan melanggar
hukum oleh penerintah.
Prinsip
hukum melalui keempat unsur tersebut diwujudkan dalam bentuk peraturan
perundang-undangan yang tersusun sistematis di dalam kodifikasi atau kompilasi
tertentu. Tidak ada hukum selain undang-undang, yang tujuannya untuk menciptakan
kepastian hukum itu sendiri. Dan kepastian hukum hanya dapat diwujudkan jika
pergaulan atau hubungan dalam masyarakat diatur dengan peraturan-peraturan
hukum yang tertulis.
Dalam
sistem Eropa Kontinental hakim tidak memiliki keleluasaan untuk menciptakan
hukum yang mempunyai kekuatan mengikat masyarakat, dan hanya boleh menafsirkan
peraturan-peraturan yang telah ada berdasarkan wewenang yang melekat. Putusan
hakim dalam suatu perkara hanyalah mengikat pihak yang berperkara saja (Doktrins
Res Ajudicata). Mengingat sifatnya yang berorientasi pada unsur kedaulatan (sovereignty),
termasuk dalam menetapkan hukum, maka yang menjadi sumber hukum dalam
sistem Eropa Kontinental, meliputi:
1. Peraturan perundang-undangan, sebagai sumber hukum formal utama yang
dibentuk oleh pemegang kekuasaan
legislatif (Statutes), dan terbagi menjadi:
a.
Peraturan (regel), yakni keputusan pemerintah yang isinya berlaku dan
mengikat secara umum, bukan hanya ditujukan pada orang-orang tertentu.
b.
Penetapan atau ketetapan (beschikking), yakni keputusan pemerintah yang
hanya berlaku bagi orang atau peruntukan tertentu saja.
c. Vonis, yakni keputusan badan peradilan (hakim) yang
menetapkan hukum atas kasus konkret tertentu sebagai penyelesaian.
2. Kebiasaan-kebiasaan yang hidup dan diterima sebagai hukum oleh
masyarakat selama tidak bertentangan dengan undang-undang. Kebiasaan atau
tradisi merupakan sumber hukum tertua, yang digali sebagian dari hukum di luar
Undang-Undang.
Kebiasaan
adalah pengulangan perilaku yang sama di dalam masyarakat setiap kali terjadi
situasi kemasyarakatan yang sama. Kebiasaan menjadi suatu hukum apabila
kebiasaan itu diyakini oleh masyarakat sebagai suatu kewajiban hukum karena
dirasakan sesuai dengan tuntutan keadilan. Di samping itu, suatu kebiasaan juga
dapat menjadi hukum kebiasaan karena dikonstatir oleh hakim dalam putusannya.
Persyaratan untuk
dapat menjadi hukum kebiasaan, adalah:
a. Syarat
materiil berupa adanya kebiasaan atau tingkah laku yang tetap atau diulang,
yaitu harus dapat ditunjukkan adanya suatu rangkaian perbuatan yang sama dan
berlangsung selama jangka waktu yang lama.
b. Syarat
intelektual, yaitu kebiasaan itu harus menimbulkan keyakinan umum (necessitatis)
bahwa suatu perbuatan merupakan kewajiban hukum. Keyakinan ini harus
didukung bukan hanya dengan keberlangsungan terus menerus, juga adanya
keyakinan bahwa memang seharusnya memang demikian.
c. Adanya akibat
hukum apabila hukum kebiasaan itu di langgar.
3. Traktat, yaitu
perjanjian antarnegara.
Traktat
dibedakan antara perjanjian antarnegara yang sifatnya penting (treaty)
dan perjanjian antarnegara yang bersifat biasa atau tidak begitu penting (agreement).
Berdasarkan jenisnya traktat dibedakan pula antara perjanjian bilateral
(dilakukan hanya oleh dua negara) dan perjanjian multilateral (dilakukan oleh
lebih dari dua negara). Perjanjian multilateral ada yang bersifat terbuka,
yakni setelah traktat itu berlaku masih terbuka kemungkinan negara-negara lain
yang tidak turut serta dalam pembentukannya untuk menjadi peserta dari traktat
tersebut, dan ada yang bersifat tertutup, yakni negara lain yang tidak terlibat
dalam pembentukannya tidak dapat menjadi peserta pada traktat termaksud.
Traktat
hanya dapat diselenggarakan oleh subjek-subjek hukum pada Hukum Internasional,
yaitu; negara yang berdaulat, badan-badan internasional, dan tahta suci Vatikan
(Sri Paus).
4. Yurisprudensi, dalam konteks sistem civil law merupakan
putusan hakim di semua tingkatan badan peradilan, yang kemudian dijadikan dasar
untuk menyelesaikan kasus-kasus serupa di kemudian hari. Dalam sistem
kontinental, hakim tidak terikat pada putusan pengadilan yang pernah dijatuhkan
mengenai perkara yang serupa. Untuk merealisasi asas kesamaan putusan dalam
sistem kontinental, maka hakim diikat oleh undang-undang. Di sini Hakim
berpikir secara deduktif, dari undang-undang yang sifatnya umum ke peristiwa
khusus.
Perbedaan
yurisprudensi dengan undang-undang adalah putusan pengadilan berisi
peraturan-peraturan yang bersifat konkret karena mengikat orang-orang tertentu
saja, sedangkan undang-undang berisi peraturan-peraturan yang bersifat abstrak
karena mengikat setiap orang.
Merunut
sumber-sumber hukum yang digunakan tersebut, maka sistem hukum Eropa
Kontinental terbagi ke dalam dua golongan hukum, yaitu:
a.
Hukum yang mengatur kesejahteraan masyarakat dan
kepentingan umum, disebut hukum publik, dan
b. Hukum
yang mengatur hubungan perdata artinya yang mengatur hubungan orang, disebut
hukum privat.
Hukum
publik mencakup peraturan-peraturan hukum yang mengatur kekuasaan dan wewenang
penguasa negara, serta hubungan-hubungan antara masyarakat dan negara. Termasuk
di dalamnya adalah hukum tatanegara, hukum administrasi negara, hukum pidana
dan lainnya. Pada sisi lain hukum privat mencakup peraturan-peraturan hukum
yang mengatur tentang hubungan antara individu-individu dalam memenuhi
kebutuhan individunya. Termasuk hukum privat adalah hukum sipil (perdata) dan
hukum dagang.
Namun
demikian, perkembangan peradaban manusia saat sekarang menyebabkan batas-batas
antara hukum publik dan hukum privat semakin sulit ditemukan, disebabkan:
a.
banyaknya bidang-bidang kehidupan masyarakat menuntut intensifitas sosialisasi
makna kepentingan umum di dalam hukum sebagai urusan yang perlu dilindungi dan
dijamin. Misalnya, dalam hukum perburuhan dan hukum agraria.
b. tingginya persoalan individu di dalam masyarakat yang
semakin kompleks, mendorong keterlibatan negara semakin jauh ke dalam bidang
kehidupan yang sebelumnya hanya menyangkut hubungan perorangan. Misalnya,
bidang perdagangan, bidang perjanjian, dan perlindungan hak-hak asasi manusia
seperti tercermin dalam undang-undang perkawinan, KDRT dan perlindungan anak.
Di
samping pembagian dalam dua golongan hukum, sistem civil law yang
berjiwa sistematika hukum Romawi-Jerman cenderung memiliki kesamaan ciri dalam
strukturnya, meliputi:
a.
terbaginya hukum menjadi bidang-bidang hukum tertentu, seperti: Hukum Tata
Negara, Hukum Tata Usaha Negara, Hukum Agraria, Hukum Perdata Internasional,
dan sebagainya;
b.
adanya penyatuan atau unifikasi dalam hukum menjadi satu hukum negara yang
diberlakukan untuk seluruh penduduk berdasarkan teritorial negara bersangkutan,
dengan tidak membedakan golongan, tidak diskriminatif atau memandang setiap
orang berkedudukan sama dimuka hukum;
c. hukum-hukum tertulis yang ada disatukan dalam
klasifikasi-klasifikasi sebagai sebuah kodifikasi hukum. Kansil memberikan
pengertian kodifikasi sebagai pembukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab
undang-undang secara sistematis dan lengkap. Tujuan kodifikasi adalah untuk
memperoleh kepastian hukum, penyederhanaan hukum dan kesatuan hukum. Beberapa
contoh kodifikasi hukum adalah:
1)
Kodifikasi hukum di Eropa adalah Corpus Juries Civilize (mengenai Hukum
Perdata) yang diusahakan oleh Kaisar Justinianus dari Kerajaan Romawi
Timur dalam tahun 527-565 dan dan Code Civil (mengenai Hukum Perdata) yang
diusahakan oleh Kaisar Napoleon di Perancis pada tahun 1604.
2) Kodifikasi hukum di Indonesia adalah Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (1 Mei 1848), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (1 Mei 1848) dan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (1 Januari 1918).
Beberapa
negara di dunia yang sistematika hukumnya banyak dipengaruhi civil law
system, yaitu: Albania, Austria, Belanda, Belgia, Bulgaria, Brasil, Chili,
Republik Ceko, Denmark, Republik Dominika, Ekuador, Estonia, Finlandia,
Guatemala, Haiti, Hongaria, Indonesia, Italia, Jepang, Jerman, Kolombia,
Kroasia, Latvia, Lituania, Luxemburg, Makau, Malta (namun hukum publiknya juga
mendapat pengaruh common law system), Meksiko, Norwegia, Panama,
Perancis, Peru, Polandia, Portugal, Rusia, Slovakia, Spanyol, Swedia, Swiss,
Thailand, Taiwan, Vietnam, dan Yunani.
C. PERKEMBANGAN
HUKUM DI INDONESIA
Sistem
hukum di Indonesia saat ini merupakan sistem hukum yang didasarkan pada asas
konkordasi, yakni menerima secara sukarela untuk memperlakukan sistem hukum
yang berasal dari daratan Eropa Kontinental. Namun sebagai negara kepulauan
yang memiliki beragam tradisi dalam masyarakatnya, di Indonesia juga berlaku
hukum adat sebagai hukum asli. Belum lagi penetrasi ajaran-ajaran hukum Islam
dalam kehidupan bangsa Indonesia sebagai konsekuensi penduduknya yang mayoritas
muslim. Sehingga di beberapa daerah hukum adat turut pula dipengaruhi oleh
nilai-nilai ajaran Islam.
Sifat
keberlakuan hukum adat di Indonesia sendiri cukup kuat, karena tumbuh dan
berkembang dari kebiasaan-kebiasaan sehari-hari masyarakat adat dan telah
dikonstituir oleh pengetua adat, yang jika dilanggar maka akan mendapat akibat
hukum berupa kecaman atau dikucilkan dari kehidupan bersama, dibuang ke daerah
lain, terputusnya komunikasi dengan sanak keluarga, hingga hukuman fisik berupa
kerja berat atau denda berupa penggantian sejumlah harta miliknya.
Asas
konkordasi atas sistem hukum Eropa Kontinental yang dianut Indonesia tidak
lepas dari pengaruh Belanda yang pernah menjajah Indonesia selama ratusan tahun
lamanya. Sistem hukum Belanda sendiri merupakan sistem hukum yang mengadopsi Codex
Napoleon yang bersumber dari hukum Romawi. Karena sistem ini yang
berkembang kali pertama adalah hukum perdatanya yang mengatur hubungan individu
semua anggota masyarakat, maka sistem hukum Eropa Kontinental sebagaimana
diadopsi Belanda dan berlaku di Indonesia disebut sebagai civil law system.
Berdasarkan
asas konkordansi pula sejak tahun 1848 hukum di Nederland berlaku bagi seluruh
penduduk di Hindia Belanda. Pada waktu itu penduduk Hindia Belanda dibagi atas
tiga golongan: Eropa, Timur Asing, dan Bumi Putra. Golongan penduduk bukan
Eropa dapat menundukkan diri pada hukum Eropa baik secara sukarela maupun
diam-diam. Kodifikasi hukum Eropa ini terdiri dari Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPerdata), Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHDagang), dan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHPidana). Dalam perkembangannya berbagai materi
dalam KUHPerdata dan KUHDagang setelah Indonesia merdeka memisahkan diri dalam
bentuk lahirnya undang-undang tersendiri, seperti Undang-Undang Pokok Agraria,
Undang-Undang Tenaga Kerja, Undang-Undang Perseroan Terbatas, Undang-Undang
Merk, atau Undang-undang Rahasia Dagang.
Di
Belanda sendiri ketiga kitab undang-undang tersebut telah mengalami
berkali-kali perubahan, namun di Indonesia perubahan terjadi melalui mekanisme
pembentukan berbagai undang-undang baru yang dulunya diatur dalam KUHPerdata,
KUHDagang dan KUHPidana. Perubahan undang-undang ini juga terjadi oleh karena
adanya keputusan-keputusan pengadilan yang menetapkan penafsiran terhadap
undang-undang tersebut dan akhirnya menjadi yurisprudensi.
Setelah
Indonesia merdeka dan mengundang kembali datangnya investasi asing pada tahun
1967, maka mendorong perdagangan internasional Indonesia ke pasar dunia, dan
berusaha mendapat pinjaman-pinjaman luar negeri dari negara-negara maju.
Akibatnya lambat laun pengaruh common law secara disadari atau tidak
menginfiltrasi perkembangan hukum di Indonesia.
Common
law mempengaruhi hukum Indonesia melalui perjanjian-perjanjian atau
konvensi-konvensi internasional di mana Indonesia menjadi anggotanya. Mulai
perjanjian antara para pengusaha, lahirnya institusi-institusi keuangan baru,
hingga pengaruh para sarjana hukum yang mendapat pendidikan di negara-negara Common
Law seperti Amerika Serikat, Inggris dan Australia. Penetrasi common law
dalam sistem hukum Indonesia lebih banyak diakibatkan keterlibatan
Indonesia menjadi anggota berbagai konvensi internasional, di mana sistem common
law adalah dominan.
Dalam
hukum ekonomi, perjanjian GATT (General Agreement on Tarif and Trade),
WTO (World Trade Organisation), TRIMs (Trade Related
Investment Measures) atau peraturan di bidang investasi yang berhubungan
dengan perdagangan, dan TRIPs (Trade Releted Intellectual Property Rights)
atau peraturan yang berhubungan dengan hak milik intelektual, banyak
mempengaruhi undang
undang di bidang hak milik dan investasi di Indonesia. Begitupun
datangnya modal asing yang dalam implementasinya melahirkan sistem seperti Joint
Venture Agreement, Franchise Agreement, maupun pola pinjaman jangka pendek
dalam sistem Commercial Paper (CP), semuanya merupakan bentuk-bentuk
kontrak dalam sistem common law.
Belum
lagi isu-isu pemanasan global yang membawa keterlibatan organisasi-organisasi
lingkungan hidup internasional secara tidak langsung pada ajaran Legal
Standing, atau Class Action sebagai bentuk gugatan masyarakat
terhadap perlindungan hak-hak konsumennya, pun Derivative Action sebagai
cara dalam gugatan pemegang saham minoritas kepada direksi dan komisaris
perseroan terbatas atas nama perusahaan. Semua penyelesaian hukum tersebut sama
sekali tidak dikenal dalam sistem civil law.
Tampak
dari gambaran di atas, Indonesia adalah penganut pluralisme hukum, meliputi;
Hukum Adat, Hukum Islam, Civil Law, dan Common Law yang
kesemuanya hidup berdampingan. Keanekaragaman sistem hukum yang ada menjadikan
pembangunan hukum di Indonesia sulit untuk diciptakannya suatu unifikasi hukum
yang berlaku menyeluruh. Unifikasi hanya terbatas pada bidang-bidang hukum yang
netral, seperti ekonomi, perdagangan, perburuhan, dan pidana. Sebaliknya
Unifikasi tidak dapat dilakukan pada bidang-bidang yang bersangkutan dengan
agama dan adat, seperti perkawinan dan warisan, hak untuk mati, hak untuk
menggugurkan kandungan, maupun perkawinan sesama jenis.
Dalam dunia
kontemporer, dikenal tiga tradisi hukum yang utama, yakni civil law, common
law, dan socialist law. Dari sudut perspektif sejarah dikenal dua
model strategi pembangunan hukum, yaitu ortodoks (preventif) dan responsif.
Strategi pembangunan hukum ortodoks mengandung ciri keterlibatan sangat dominan
lembaga-lembaga negara (eksekutif dan legislatif) dalam menentukan arah
pembangunan bagi masyarakat. Strategi ini biasanya dianut oleh negara-negara
dengan sistem hukum civil law dan socialist law. Sedangkan
strategi pembangunan hukum responsif mengandung ciri adanya peranan besar
lembaga peradilan dan partisipasi luas kelompok-kelompok sosial atau individu
di dalam masyarakat dalam menentukan arah perkembangan hukum. Keadaan ini
memungkinkan dihasilkannya produk hukum yang lebih responsif terhadap kebutuhan
sosial atau individu dalam masyarakat. Dalam pengertian demikian, maka tradisi
hukum kebiasaan dan hukum 18
adat dalam sistem common law adalah penganut strategi
pembangunan hukum responsif.
Mengamati
perkembangan hukum adat yang semakin mendapat tempat dalam konstitusi negara
UUD RI Tahun 1945 pada Pasal 18B ayat (2), yang jika dihubungkan dengan arah
pembangunan hukum di Indonesia yang cenderung dogmatis dan pragmatis, maka
sesungguhnya pada skala nasional di Indonesia yang menganut civil law system
antara civil law maupun common law dapat dikatakan tidak ada
lagi perbedaan signifikan. Hal ini tampak dalam undang-undang tentang kekuasaan
kehakiman, dinyatakan bahwa “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan
mengadili sesuatu perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Dari
rumusan klausul di atas tampak bahwa hakim di Indonesia diwajibkan bersikap
aktif dalam menggali dan menemukan hukum (rechtsvinding dan rechtsvorming).
Konsekuensinya pengadilan atau hakim juga merupakan unsur yang cukup penting
dalam pembangunan hukum, terutama fungsinya dalam membuat hukum baru. Kenyataan
ini menempatkan sistem hukum di Indonesia juga telah masuk ke dalam alam sistem
hukum common law.
Sebagaimana
dikemukakan dalam Teori Hukum Pembangunan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja, bahwa
hukum tidak hanya meliputi asas dan kaidah yang mengatur kehidupan manusia
dalam masyarakat, melainkan juga termasuk lembaga dan proses dalam mewujudkan
berlakunya kaidah itu dalam kenyataan di masyarakat. Kata asas menggambarkan
bahwa penggagas memperhatikan pandangan aliran hukum alam, karena asas itu ada
kaitannya dengan nilai-nilai moral tertinggi, yaitu keadilan. Adapun kata kaidah
menggambarkan bahwa Mochtar memperhatikan pengaruh aliran Positivisme
Hukum, karena kata kaidah mempunyai sifat normatif. Kata lembaga menggambarkan
bahwa teori tersebut memperhatikan pandangan Mazhab Sejarah, karena yang
dimaksud disini adalah lembaga hukum adat. Sedangkan kata proses dimaksudkan
pada proses disini adalah proses terbentuknya putusan hakim pengadilan.
Kesimpulannya,
perkembangan hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh keanekaragaman agama,
adat, masyarakat dan sistem hukum yang hidup di Indonesia itu sendiri, civil
law, common law, maupun hukum-hukum adat yang ada.
Terdapat
lima sistem hukum di dunia, yaitu; sistem hukum sipil (civil law),
sistem hukum Anglo-Saxon (common law), sistem hukum agama, sistem hukum
adat, dan sistem hukum negara-negara blok timur (sosialis). Dari kelima sistem
hukum tersebut, civil law system dan common law system merupakan
dua sistem hukum yang mendominasi sistem-sistem hukum di negara-negara belahan
dunia.
Civil
law system merupakan sistem hukum yang berkembang di dataran Eropa. Sistem
ini menekankan pada penggunaan aturan-aturan hukum yang sifatnya tertulis dalam
sistematika hukumnya. Karena awal perkembangannya di daratan Eropa Timur
sehingga dikenal sebagai sistem Eropa Kontinental.
Dalam
sistem Hukum Eropa Kontinental, kodifikasi hukum merupakan sesuatu yang sangat
penting untuk terwujudnya kepastiam hukum. Prinsip utama yang menjadi dasar
sistem hukum Eropa kontinental adalah bahwa hukum memperoleh kekuatan mengikat
karena diwujudkan. Dalam sistem Eropa Kontinental hakim tidak memiliki
keleluasaan untuk menciptakan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat
masyarakat, dan hanya boleh menafsirkan peraturan-peraturan yang telah ada
berdasarkan wewenang yang melekat. Putusan hakim dalam suatu perkara hanyalah
mengikat pihak yang berperkara saja. Sumber hukum dalam sistem civil law,
meliputi: peraturan perundang-undangan, kebiasaan-kebiasaan yang hidup dan
diterima sebagai hukum oleh masyarakat selama tidak bertentangan dengan
undang-undang, traktat atau perjanjian antarnegara, dan yurisprudensi yakni
putusan hakim di semua tingkatan badan peradilan
Bertolak belakang dengan sistem civil law yang diajarkan melalui
universitas-universitas, sistem common law hidup dan berkembang
secara turun temurun dalam kebiasaan-kebiasaan di masyarakat. Sumber hukum
tertinggi hanyalah kebiasaan masyarakat yang dikembangkan di pengadilan dan
telah menjadi keputusan pengadilan. Hakekat common law sebagaimana
dipraktekkan negara Inggris ketika itu adalah sebuah judge made law,
yaitu hukum yang dibentuk oleh peradilan hakim-hakim kerajaan dan dipertahankan
oleh kekuasaan yang diberikan kepada preseden-preseden (putusan terdahulu) para
hakim. Sumber-sumber hukum dalam sistem common law, meliputi:
yurisprudensi yakni hakim mempunyai wewenang yang luas untuk menafsirkan
peraturan-peraturan hukum dan menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang
berguna sebagai pegangan bagi hakim–hakim lain dalam memutuskan perkara
sejenis, statute law yakni peraturan yang dibuat oleh parlemen Inggris
seperti layaknya undang-undang dalam sistem kontinental, custom yakni
kebiasaan yang sudah berlaku selama berabad-abad di Inggris sehingga menjadi
sumber nilai-nilai, dan Reason (akal sehat) yakni berfungsi sebagai
sumber hukum jika sumber hukum yang lain tidak memberikan penyelesaian terhadap
perkara yang sedang ditangani oleh hakim
Sistem
hukum di Indonesia saat ini merupakan sistem hukum yang didasarkan pada asas
konkordasi, yakni menerima secara sukarela untuk memperlakukan sistem hukum
yang berasal dari daratan Eropa Kontinental. Namun Indonesia juga memiliki
beragam tradisi dalam masyarakatnya, yang di dalamnya berlaku hukum adat
sebagai hukum asli. Belum lagi penetrasi ajaran-ajaran hukum Islam yang di
beberapa daerah turut mempengaruhi hukum adat.
Setelah
Indonesia merdeka dan mulai masuknya investasi asing, lambat laun pengaruh common
law menginfiltrasi perkembangan hukum di Indonesia. Akibatnya di Indonesia
terdapat pluralisme hukum, meliputi; Hukum Adat, Hukum Islam, Civil Law dan
Common Law yang kesemuanya hidup berdampingan. Sehingga perkembangan
hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh keanekaragaman agama, adat,
masyarakat dan sistem hukum yang hidup di Indonesia itu sendiri, civil law,
common law, maupun hukum-hukum adat yang ada.
Analisa
kasus
JAYAPURA - Pergantian beberapa kepala SKPD di lingkungan Provinsi Papua
yang dilakukan oleh Penjabat Gubernur, drh. Constant Karma, terus menuai
protes. Senin, (11/2) kemarin, ratusan mahasiswa, pemuda, dan
organisasi kepemudaan mendatangani Kantor Gubernur Provinsi Papua, untuk
menyampaikan aspirasinya kepada Penjabat Gubernur Provinsi Papua, terkait
pelantikan dan pergantian sejumlah pejabat eselon II di Pemda Provinsi Papua.
Namun sayangnya Penjabat Gubernur Provinsi Papua, drh.Constant Karma tidak
bertemu dengan para pendemo karena lagi kesibukan. Massa hanya ditemui ,
Asisten III Bidang Umum, Drs. Waryoto, dan berjanji akan menyampaikan aspirasi
para pendemo kepada Penjabat Gubernur Provinsi Papua.
Pada kesempatan itu, dalam konferensi persnya, para pemuda, mahasiswa, masyarakat, menyatakan akan mem-PTUN-kan (menggugat) Penjabat Gubernur Provinsi Papua, ke PTUN Jayapura. Ketua Koalisi Mahasiswa dan Pemuda Papua Peduli Rakyat (KMP3R) Papua, Kaleb V.B. Woisiri, mengatakan, drh. Costan Karma dilantik sebagai Penjabat Gubernur Provinsi Papua dengan tujuan sukseskan Pemilukada Gubernur (Pilgub) Provinsi Papua, tetapi pada kenyataannya tidak berkonsentasi dalam tugas pokoknya, tetapi justru memanfaatkan posisinnya untuk melakukan mutasi pejabat struktural, yang pada dasarnya bukan merupakan kewenangannya.
Berdasarkan mutasi pejabat struktural, pihaknya meyakini bahwa mutasi pejabat dilakukan sepihak oleh Penjabat Gubernur karena menghiraukan edaran Menteri Dalam Negeri (Mendagri) tentang melarang mutasi pejabat struktural enam bulan sebelum Pilkada perkecualian, mutasi pejabat struktural di masa menjelang Pilkada untuk mengisi jabatan lowong dengan tidak melakukan pemberhentian pejabat (nonjob), menurunkan jabatan (demosi), dan mengalihkan pejabat struktural menjadi fungsional. Hal ini dilakukan untuk menghindar dari politisasi PNS agar netralitas PNS dihormati dan dijaga.
“Larangan mutasi pejabat struktural dituangkan dalam Surat Edaran Mendagri Nomor 800/5335 SJ tertanggal 27 Desember 2012, tentang Pelaksanaan Mutasi Pejabat Struktural Menjelang Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah,” ungkapnya dalam keterangan persnya kepada wartawan di Prima Garden Jayapura, Senin, (11/2).
Larangan Mendagri berdasarkan Pasal 28 Huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang melarang kepalah daerah dan wakil kepalah daerah membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politik-nya yang bertentangan dengan peraturan perundangan, merugikan kepentingan umum, dan meresahkan sekolompok masyarakat, atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat lain. Selain itu sesuai UU No 43/1999 tentang pokok-pokok kepegawaian, baca koran (KOMPAS_Sabtu, 5 Januari 2013
“Mutasi jabatan ini yang kadang menghantui pejabat struktural. Mendagri, Gamawan Fauzi melarang kepala daerah memutasi pejabat struktural enam bulan menjelang pemilihan umum kepala daerah. Larangan ini untuk menghilangkan politisasi pegawai negeri sipil menjelang Pilkada,” jelasnya.
Bila mutasi tetap dilakukan dalam masa enam bulan sebelum Pilkada, Mendagri mengancam memberikan teguran kepada kepala daerah dan juga bila berkeras melaksanakan mutasi, sebagai pejabat publik, kepala daerah bisa digugat ke PTUN. Sebab, setiap keputusan pejabat publik bisa diuji. Selain itu, Mendagri juga berjanji tidak akan menyetujui surat keputusan mutasi. Meski demikian, mutasi tetap dilakukan hanya untuk mengisi jabatan yang lowong. Mutasi tidak boleh dilakukan dengan memberhentikan pejabat aktif, menurunkan jabatan (demosi), dan mengalihkan pejabat struktural menjadi pejabat fungsional.
Mengacuh dari informasi edaran Mendagri, KMP3R bersama dengan masyarakat meyakini bahwa, pertama, tindakan mutasi pejabat struktural oleh Penjabat Gubernur drh. Constan Karma M.Si dalam masa kepemimpinan sejak dilantik menjadi Gubernur Provinsi Papua, sampai dengan saat ini terhitung sudah tiga (3) bulan, dinilai telah banyak melakukan kebijakan yang sangat bertentangan dengan tugas pokok dan fungsi sebagai Plt Gubernur.
“Adapun kita ketahui bersama bahwasanya tugas pejabat gubernur provinsi papua adalah mengawal pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah Provinsi Papua sampai dengan dilantiknya Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua definitif Periode 2013 – 2018,” tukasnya. Dengan melihat sikap Penjabat Gubernur Constan Karma si yang bertindak semena-mena dengan melakukan kebijakan yang terkesan arogansi, diskriminasi dan mengandung unsur Nepotisme dalam menganti dan mengangkat pejabat struktural di pemerintahan Provinsi Papua.
Menurut analisis pihaknya, tidak ada korelasi antara larangan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fausi ‘Surat Edaran Mendagri Nomor 800/5335 SJ tertanggal 27 Desember 2012 Melarang Kepala Daerah Memutasi Pejabat Struktural enam bulan menjelang Pilkada’ dengan Surat Keputusan Gubernur Papua SK. No. 821.2-112 tertanggal 1 Februari 2013, yang menurut pernyataan Pjl Gubernur telah mendapat persetujuan Mentri Dalam Negeri, sesuai dengan surat No.891.212/425/SJ tanggal 30 januari 2013 yang mana telah diberitakan pada media koran cenderawasih pos dan RRI selasa 05 Februari 2013 lalu dan juga media-media lainnya belakangan ini.
Terkait dengan masalah dimaksud, KMP3R sebagai oragan taktis yang berorientasi pada kontrol sosial yang berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik dalam waktu dekat akan menyurat ke Mendagri untuk mempertanyakan persetujuan mutasi pejabat struktutal di Pemerintah Provinsi Papua dan meminta keterangan dari Mendagri alasan memberikan persetujuan mutasi pejabat struktural di Pemda Provinsi Papua.
Ditempat yang sama, Ketua Himapura,Wakil Ketua Asosiasi Mahasiswa Mamta, Petrus Hamungkwarung, menandaskan, sikap Gubernur Constants Karma tidak etis terhadap pergantian jabatan dimaksud, dan dinilai seakan-akan diboncengi kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, dan lainnya, tanpa melihat substansi aturan secara umum yang berlaku dinegara ini.
Untuk itu ditegaska, agar GubernurConstant Karma segera cabut SK pelantikan tersebut, sebab jika tidak, jangan kaget jika ada situasi yang tidak menyenangkan di Kantor Gubernur Provinsi Papua. Karena pergantian jabatan itu sarat dengan konflik.
“Kami tidak lihat siapa yang dilantik dan lain sebagainya, tapi kalau kinerjanya bagus, kenapa harus diganti. Masa seorang Gubernur menunjukan saudaranya sebagai Kepala Dinas Kehutanan, apa memangnya Provinsi Papua itu kantor keluarga kah? Penempatan pejabat harus ada pemerataan. Dalam waktu dekat kami akan turun jalan, terkait dengan menuntut pembantalan SK. Kami tidak mau sesama orang Papua hidup dalam saling membenci dan loain sebagainya,” imbuhnya.
Senada dengan itu, Koordinator, Jaringan Aksi Perubahan Indonesia (Japi) Papua, Andre R. Wonatorey, menyampaikan, pergantian pejabat mengancam ketenangan rakyat Papua, sebab proses yang beliau bangun, itu adalah proses pembunuhan karakter orang Papua secara langsung.
“Ini sangat kecurangan, mari kita berjuang, supaya jangan ada lagi orang Papua yang mati sia-sia diatas Tanah Papua, akibat dari kebijakan yang salah. Kami mau ada kebenaran, keadialan, jangan kebijakan yang salah semua di Tanah Papua ini menjadi sia-sia,” beberanya.
Sementara itu, Kepala Bidang Politik Hukum dan HAM BEM Uncen Jayapura, Paulinus Ohee, menuturkan, Mahasiswa sebagai agen sosial kontrol, jadi mahasiswa bukan menjadi sekutu, tugas mahasiswa ialah memperbaiki hal yang salah untuk masa depan yang lebih baik.
Oleh karena itu, pihaknya sudah sewajarnya menyoroti persoalan pergantian pejabat struktural yang kenyataannya sudah menyalahi aturan yang berlaku, karena pergantian pejabat itu kewenangan Gubernur defenitif.
“Kami inginkan Papua yang baik, bukan Papua yang menyesatkan akibat kebijakan yang salah,” tuturnya. Sama halnya, Mantan Ketua BEM Uncen Periode 2008-2010, Decky Ovide, S.Sos, menandaskan, sorotan pihaknya itu tidak ada tendensi politik, dan tidak ada kaitanya sama sekali dengan Pilkada. Pihaknya hanya menyoroti apa yang dinilai salah dan tidak memberikan pendidikan yang baik bagi masyarakat.
“Masyarakat harus wawasan terbuka, dan kritis yang betul, jangan komentar lalu pergi ke pejabat itu untuk ambil uang tutup mulut. Kalau mau perbaiki Papua, ya kita perbaiki sistem birokras pemerintahan dulu yang amburadul sekarang ini. Ini yang nanti kami pertanyakan masalah pergantian pejabat ini ke Mendagri. Ini ada mafia birokrasi yang dimainkan,” pungkasnya. DPRP : Pergantian Jabatan Internal Pemprov Sementara itu , DPRP memandang mutasi jabatan adalah sesuatu yang lumrah dalam organsisasi terutama pemerintahan dan merupakan urusan internal.
‘’DPRP menilai pergantian pejabat eselon di lingkungan Pemprov Papua adalah hal yang biasa dan itu adalah salah satu mekanisme didalam berorganisasi ada promosi jabatan guna penyegaran,’’ tandas Ketua Komisi D DPRP Yan Mandenas, Senin 11 Febuari menyikapi pro kontra pergantian jabatan Kepala Dina PU Provinsi Papua dari Jansen Monim kepada Maikel Kambuaya. Yang penting, lanjutnya, pejabat baru yang dipercaya memimpin sebuah dinas, harus mampu mengemban kepercayaan yang diberikan dengan menunjukan kinerja yang baik. “Kepercayaan yang diberikan ini harus mampu diemban dengan baik, dengan mampu menyelesaikan program-program yang ada dengan bagus serta benar-benar dinikmati masyarakat,’’papar Yan Mandenas.
Yan Mandenas optimis pejabat baru Kepala Dinas PU Provinsi Papua Maikel Kambuaya akan mampu menjalankan program-program infrastruktur dengan baik, sebab yang bersangkutan sudah sangat berpengalaman dalam bidangnya. ‘’Maikel Kambuaya bukan orang baru di PU, tentu dia akan mampu memgemban kepercayaan yang diberikan,’’singkatnya. Dan, tambah Yan Mandenas, Komisi D DPRP yang membidangi infrastruktur siap bekerja sama dengan pejabat baru guna mensukseskan program-program pembangunan infrastruktur di Provinsi Papua. ‘’Sebagai mitra kerja, Komisi D siap bekerja sama dengan pejabat baru PU, untuk menjalankan program-program pembangunan infrastruktur di Papua, terutama jalan, jembatan dan sungai,’’terangnya. Mengenai adanya pihak yang tidak setuju dengan langkah Penjabat Gubernur Provinsi Papua mengganti Kepala Dinas PU dari Jansen Monim, Yan Mandenas menegaskan, pro kontra dalam pergantian suatu jabatan adalah hal yang biasa, tapi sekali lagi saya katakana itu urusan internal Pemprov Papua. ‘’Memang sebelum mengganti pejabat harusnya lebih dulu dibangun komunikasi, agar nantinya jangan ada yang kaget, tapi yang pasti itu urusan internal eksekutif,’’tandasnya.
Pada kesempatan itu, dalam konferensi persnya, para pemuda, mahasiswa, masyarakat, menyatakan akan mem-PTUN-kan (menggugat) Penjabat Gubernur Provinsi Papua, ke PTUN Jayapura. Ketua Koalisi Mahasiswa dan Pemuda Papua Peduli Rakyat (KMP3R) Papua, Kaleb V.B. Woisiri, mengatakan, drh. Costan Karma dilantik sebagai Penjabat Gubernur Provinsi Papua dengan tujuan sukseskan Pemilukada Gubernur (Pilgub) Provinsi Papua, tetapi pada kenyataannya tidak berkonsentasi dalam tugas pokoknya, tetapi justru memanfaatkan posisinnya untuk melakukan mutasi pejabat struktural, yang pada dasarnya bukan merupakan kewenangannya.
Berdasarkan mutasi pejabat struktural, pihaknya meyakini bahwa mutasi pejabat dilakukan sepihak oleh Penjabat Gubernur karena menghiraukan edaran Menteri Dalam Negeri (Mendagri) tentang melarang mutasi pejabat struktural enam bulan sebelum Pilkada perkecualian, mutasi pejabat struktural di masa menjelang Pilkada untuk mengisi jabatan lowong dengan tidak melakukan pemberhentian pejabat (nonjob), menurunkan jabatan (demosi), dan mengalihkan pejabat struktural menjadi fungsional. Hal ini dilakukan untuk menghindar dari politisasi PNS agar netralitas PNS dihormati dan dijaga.
“Larangan mutasi pejabat struktural dituangkan dalam Surat Edaran Mendagri Nomor 800/5335 SJ tertanggal 27 Desember 2012, tentang Pelaksanaan Mutasi Pejabat Struktural Menjelang Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah,” ungkapnya dalam keterangan persnya kepada wartawan di Prima Garden Jayapura, Senin, (11/2).
Larangan Mendagri berdasarkan Pasal 28 Huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang melarang kepalah daerah dan wakil kepalah daerah membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politik-nya yang bertentangan dengan peraturan perundangan, merugikan kepentingan umum, dan meresahkan sekolompok masyarakat, atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat lain. Selain itu sesuai UU No 43/1999 tentang pokok-pokok kepegawaian, baca koran (KOMPAS_Sabtu, 5 Januari 2013
“Mutasi jabatan ini yang kadang menghantui pejabat struktural. Mendagri, Gamawan Fauzi melarang kepala daerah memutasi pejabat struktural enam bulan menjelang pemilihan umum kepala daerah. Larangan ini untuk menghilangkan politisasi pegawai negeri sipil menjelang Pilkada,” jelasnya.
Bila mutasi tetap dilakukan dalam masa enam bulan sebelum Pilkada, Mendagri mengancam memberikan teguran kepada kepala daerah dan juga bila berkeras melaksanakan mutasi, sebagai pejabat publik, kepala daerah bisa digugat ke PTUN. Sebab, setiap keputusan pejabat publik bisa diuji. Selain itu, Mendagri juga berjanji tidak akan menyetujui surat keputusan mutasi. Meski demikian, mutasi tetap dilakukan hanya untuk mengisi jabatan yang lowong. Mutasi tidak boleh dilakukan dengan memberhentikan pejabat aktif, menurunkan jabatan (demosi), dan mengalihkan pejabat struktural menjadi pejabat fungsional.
Mengacuh dari informasi edaran Mendagri, KMP3R bersama dengan masyarakat meyakini bahwa, pertama, tindakan mutasi pejabat struktural oleh Penjabat Gubernur drh. Constan Karma M.Si dalam masa kepemimpinan sejak dilantik menjadi Gubernur Provinsi Papua, sampai dengan saat ini terhitung sudah tiga (3) bulan, dinilai telah banyak melakukan kebijakan yang sangat bertentangan dengan tugas pokok dan fungsi sebagai Plt Gubernur.
“Adapun kita ketahui bersama bahwasanya tugas pejabat gubernur provinsi papua adalah mengawal pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah Provinsi Papua sampai dengan dilantiknya Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua definitif Periode 2013 – 2018,” tukasnya. Dengan melihat sikap Penjabat Gubernur Constan Karma si yang bertindak semena-mena dengan melakukan kebijakan yang terkesan arogansi, diskriminasi dan mengandung unsur Nepotisme dalam menganti dan mengangkat pejabat struktural di pemerintahan Provinsi Papua.
Menurut analisis pihaknya, tidak ada korelasi antara larangan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fausi ‘Surat Edaran Mendagri Nomor 800/5335 SJ tertanggal 27 Desember 2012 Melarang Kepala Daerah Memutasi Pejabat Struktural enam bulan menjelang Pilkada’ dengan Surat Keputusan Gubernur Papua SK. No. 821.2-112 tertanggal 1 Februari 2013, yang menurut pernyataan Pjl Gubernur telah mendapat persetujuan Mentri Dalam Negeri, sesuai dengan surat No.891.212/425/SJ tanggal 30 januari 2013 yang mana telah diberitakan pada media koran cenderawasih pos dan RRI selasa 05 Februari 2013 lalu dan juga media-media lainnya belakangan ini.
Terkait dengan masalah dimaksud, KMP3R sebagai oragan taktis yang berorientasi pada kontrol sosial yang berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik dalam waktu dekat akan menyurat ke Mendagri untuk mempertanyakan persetujuan mutasi pejabat struktutal di Pemerintah Provinsi Papua dan meminta keterangan dari Mendagri alasan memberikan persetujuan mutasi pejabat struktural di Pemda Provinsi Papua.
Ditempat yang sama, Ketua Himapura,Wakil Ketua Asosiasi Mahasiswa Mamta, Petrus Hamungkwarung, menandaskan, sikap Gubernur Constants Karma tidak etis terhadap pergantian jabatan dimaksud, dan dinilai seakan-akan diboncengi kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, dan lainnya, tanpa melihat substansi aturan secara umum yang berlaku dinegara ini.
Untuk itu ditegaska, agar GubernurConstant Karma segera cabut SK pelantikan tersebut, sebab jika tidak, jangan kaget jika ada situasi yang tidak menyenangkan di Kantor Gubernur Provinsi Papua. Karena pergantian jabatan itu sarat dengan konflik.
“Kami tidak lihat siapa yang dilantik dan lain sebagainya, tapi kalau kinerjanya bagus, kenapa harus diganti. Masa seorang Gubernur menunjukan saudaranya sebagai Kepala Dinas Kehutanan, apa memangnya Provinsi Papua itu kantor keluarga kah? Penempatan pejabat harus ada pemerataan. Dalam waktu dekat kami akan turun jalan, terkait dengan menuntut pembantalan SK. Kami tidak mau sesama orang Papua hidup dalam saling membenci dan loain sebagainya,” imbuhnya.
Senada dengan itu, Koordinator, Jaringan Aksi Perubahan Indonesia (Japi) Papua, Andre R. Wonatorey, menyampaikan, pergantian pejabat mengancam ketenangan rakyat Papua, sebab proses yang beliau bangun, itu adalah proses pembunuhan karakter orang Papua secara langsung.
“Ini sangat kecurangan, mari kita berjuang, supaya jangan ada lagi orang Papua yang mati sia-sia diatas Tanah Papua, akibat dari kebijakan yang salah. Kami mau ada kebenaran, keadialan, jangan kebijakan yang salah semua di Tanah Papua ini menjadi sia-sia,” beberanya.
Sementara itu, Kepala Bidang Politik Hukum dan HAM BEM Uncen Jayapura, Paulinus Ohee, menuturkan, Mahasiswa sebagai agen sosial kontrol, jadi mahasiswa bukan menjadi sekutu, tugas mahasiswa ialah memperbaiki hal yang salah untuk masa depan yang lebih baik.
Oleh karena itu, pihaknya sudah sewajarnya menyoroti persoalan pergantian pejabat struktural yang kenyataannya sudah menyalahi aturan yang berlaku, karena pergantian pejabat itu kewenangan Gubernur defenitif.
“Kami inginkan Papua yang baik, bukan Papua yang menyesatkan akibat kebijakan yang salah,” tuturnya. Sama halnya, Mantan Ketua BEM Uncen Periode 2008-2010, Decky Ovide, S.Sos, menandaskan, sorotan pihaknya itu tidak ada tendensi politik, dan tidak ada kaitanya sama sekali dengan Pilkada. Pihaknya hanya menyoroti apa yang dinilai salah dan tidak memberikan pendidikan yang baik bagi masyarakat.
“Masyarakat harus wawasan terbuka, dan kritis yang betul, jangan komentar lalu pergi ke pejabat itu untuk ambil uang tutup mulut. Kalau mau perbaiki Papua, ya kita perbaiki sistem birokras pemerintahan dulu yang amburadul sekarang ini. Ini yang nanti kami pertanyakan masalah pergantian pejabat ini ke Mendagri. Ini ada mafia birokrasi yang dimainkan,” pungkasnya. DPRP : Pergantian Jabatan Internal Pemprov Sementara itu , DPRP memandang mutasi jabatan adalah sesuatu yang lumrah dalam organsisasi terutama pemerintahan dan merupakan urusan internal.
‘’DPRP menilai pergantian pejabat eselon di lingkungan Pemprov Papua adalah hal yang biasa dan itu adalah salah satu mekanisme didalam berorganisasi ada promosi jabatan guna penyegaran,’’ tandas Ketua Komisi D DPRP Yan Mandenas, Senin 11 Febuari menyikapi pro kontra pergantian jabatan Kepala Dina PU Provinsi Papua dari Jansen Monim kepada Maikel Kambuaya. Yang penting, lanjutnya, pejabat baru yang dipercaya memimpin sebuah dinas, harus mampu mengemban kepercayaan yang diberikan dengan menunjukan kinerja yang baik. “Kepercayaan yang diberikan ini harus mampu diemban dengan baik, dengan mampu menyelesaikan program-program yang ada dengan bagus serta benar-benar dinikmati masyarakat,’’papar Yan Mandenas.
Yan Mandenas optimis pejabat baru Kepala Dinas PU Provinsi Papua Maikel Kambuaya akan mampu menjalankan program-program infrastruktur dengan baik, sebab yang bersangkutan sudah sangat berpengalaman dalam bidangnya. ‘’Maikel Kambuaya bukan orang baru di PU, tentu dia akan mampu memgemban kepercayaan yang diberikan,’’singkatnya. Dan, tambah Yan Mandenas, Komisi D DPRP yang membidangi infrastruktur siap bekerja sama dengan pejabat baru guna mensukseskan program-program pembangunan infrastruktur di Provinsi Papua. ‘’Sebagai mitra kerja, Komisi D siap bekerja sama dengan pejabat baru PU, untuk menjalankan program-program pembangunan infrastruktur di Papua, terutama jalan, jembatan dan sungai,’’terangnya. Mengenai adanya pihak yang tidak setuju dengan langkah Penjabat Gubernur Provinsi Papua mengganti Kepala Dinas PU dari Jansen Monim, Yan Mandenas menegaskan, pro kontra dalam pergantian suatu jabatan adalah hal yang biasa, tapi sekali lagi saya katakana itu urusan internal Pemprov Papua. ‘’Memang sebelum mengganti pejabat harusnya lebih dulu dibangun komunikasi, agar nantinya jangan ada yang kaget, tapi yang pasti itu urusan internal eksekutif,’’tandasnya.
MenLH
Menangkan Gugatan Kasus Kebakaran Lahan di Rawa Tripa-Aceh
Jakarta, 13 Januari
2014 – Hari ini, Kementerian Lingkungan Hidup menyelenggarakan Konferensi
Pers “Refleksi Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia” yang membahas mengenai
perkembangan berbagai penanganan kasus hukum lingkungan. Pertemuan diawali
dengan penjelasan tentang menangnya gugatan perdata Menteri Lingkungan Hidup RI
terhadap PT Kallista Alam oleh Pengadilan Negeri Meulaboh, Aceh terkait kasus
pembukaan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit dengan cara pembakaran.
Akibat kebakaran lahan tersebut, negara mengalami kerugian dan terjadi
kerusakan lingkungan seperti hilangnya lahan hutan konservasi di Kawasan
Ekosistem Lauser (KEL) dan hampir punahnya beragam satwa yang dilindungi.
Selain
kasus ini, dibahas pula perkembangan penanganan terhadap kasus pembakaran lahan
dan kasus impor limbah B3 yang ditangani oleh Kementerian Lingkungan Hidup
dengan narasumber Menteri Lingkungan Hidup, Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, MBA
dan Deputi V KLH Bidang Penaatan Hukum Lingkungan, Drs. Sudariyono. Kementerian
Lingkungan Hidup selama 2013 telah melakukan penegakan hukum lingkungan dengan
3 (tiga) instrumen penegakan yaitu (i) pengelolaan pengaduan masyarakat dan
penerapan sanksi administrasi, (ii) penyelesaian sengketa lingkungan hidup
(penegakan hukum perdata) dan (iii) penegakan hukum pidana. Upaya penegakan
hukum lingkungan tersebut untuk melindungi dan melestarikan lingkungan hidup
dari kegiatan-kegiatan perusahaan yang telah melakukan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup.
Kemenangan
MenLH atas gugatan PT Kallista Alam oleh Pengadilan Negeri Meulaboh, Aceh, berdasarkan
Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Meulaboh Perkara Nomor:
12/Pdt.G/2012/PN-MBO, tentang Gugatan Menteri Lingkungan Hidup Terhadap PT
Kalista Alam pada 8 Januari 2014. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Meulaboh, Aceh, antara lain berisi amar putusan yang berbunyi:• Menyatakan
Tergugat telah melakukan Perbuatan Melanggar Hukum.• Menghukum Tergugat
membayar ganti kerugian materiil sebesar Rp.114.333.419.000 (Seratus Empat
Belas Milyar Tiga Ratus Tiga Puluh Tiga Juta Empat Ratus Sembilan Belas Ribu
Rupiah).• Menghukum Tergugat untuk melakukan tindakan pemulihan lingkungan
hidup dengan biaya Rp. 251.765.250.000 (Dua Ratus Lima Puluh Satu Milyar Tujuh
Ratus Enam Puluh Lima Juta Dua Ratus Lima Puluh Ribu Rupiah). •
Memerintahkan Tergugat tidak menanam di lahan gambut seluas 1000 ha.
Dalam
Konferensi Pers hari ini, Menteri Lingkungan Hidup, Prof. Dr. Balthasar
Kambuaya, MBA, mengatakan, “Keberhasilan memenangkan gugatan perkara pembakaran
lahan ini merupakan pembelajaran yang baik bagi kami bawa prinsip “polluter
pay principle” dapat berlaku. Pembayaran ganti rugi material dan pemulihan
lingkungan sebesar lebih dari Rp. 300.000.000,- dapat menjadi efek jera bagi
perusahaan perusak lingkungan lainnya. Upaya penegakan hukum lingkungan ini
meningkatkan kepercayaan kami bahwa pemulihan lingkungan hidup dapat
diselesaikan dengan pengadilan. Hal ini juga atas kerjasama yang baik antara
KLH dengan Kejaksaan Agung dan tim kuasa hukum yang didukung oleh alat bukti
yang kuat dan saksi ahli”.
Apresiasi
diberikan MenLH kepada Jaksa Pengacara Negara (JPN) dari Kejaksaan Agung dan
Kejaksaan Tinggi Aceh. Selain itu, penghargaan kepada Hakim sekaligus Ketua
Pengadilan Negeri Meulaboh, Rachmawati, SH yang merupakan hakim bersertifikat lingkungan yang pertama kali memutus perkara lingkungan hidup.
PT. Kallista Alam merupakan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang memiliki area lahan kurang lebih seluas 1.605 hektar yang berada dalam “Kawasan Ekosistem Leuser”, berlokasi di Desa Pulo Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh. Awal diajukannya gugatan oleh kuasa hukum MENLH berdasarkan pada Laporan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) tertanggal 11 April 2012 serta tanggal 26 Juli 2012 kepada MENLH yang menyebutkan bahwa terdapat titik panas (hotspot) yang mengindikasikan terjadinya dugaan pembakaran lahan di wilayah perkebunan PT. Kallista Alam (Data hotspot tersebut bersumber dari MODIS yang dikeluarkan oleh NASA).
PT. Kallista Alam merupakan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang memiliki area lahan kurang lebih seluas 1.605 hektar yang berada dalam “Kawasan Ekosistem Leuser”, berlokasi di Desa Pulo Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh. Awal diajukannya gugatan oleh kuasa hukum MENLH berdasarkan pada Laporan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) tertanggal 11 April 2012 serta tanggal 26 Juli 2012 kepada MENLH yang menyebutkan bahwa terdapat titik panas (hotspot) yang mengindikasikan terjadinya dugaan pembakaran lahan di wilayah perkebunan PT. Kallista Alam (Data hotspot tersebut bersumber dari MODIS yang dikeluarkan oleh NASA).
Data dan
informasi tersebut lalu dijadikan sebagai dasar bagi Kementerian Lingkungan
Hidup (KLH), melalui Deputi Penaatan Hukum Lingkungan untuk membentuk dan
menugaskan suatu tim lapangan yang beranggotakan para ahli, Jaksa Pengacara
Negara dari Kejagung dan Kejati Aceh beserta staf KLH dan perwakilan Pemerintah
Provinsi setempat untuk melakukan verifikasi lapangan pada tanggal 5 Mei 2012
dan 15 Juni 2012. Selanjutnya disimpulkan bahwa PT. Kallista Alam telah
melakukan perbuatan melanggar hukum yaitu pembakaran lahan, atau
setidak-tidaknya telah membiarkan terjadinya kebakaran lahan sehingga
menimbulkan kerusakan lingkungan hidup dengan luas total lahan yang terbakar seluas
1.000 hektar.
Berdasarkan
hasil kesimpulan tim lapangan dan penelitian oleh Ahli Kebakaran Hutan dan Ahli
Kerusakan Lahan didapati bahwa terjadinya kebakaran lahan seluas 1000 hektar
tersebut telah menimbulkan kerugian lingkungan yang harus dibayarkan PT.
Kallista Alam kepada Negara, atas kerugian lingkungan yang timbul selanjutnya
MENLH melalui Kuasa Hukum bersama Jaksa Pengacara Negara Kejagung dan Kejati
Aceh mengajukan gugatan ke PN Meulaboh pada tanggal 8 November 2012. Setelah
gugatan diterima, Majelis Hakim lalu memanggil para Pihak untuk melakukan
proses mediasi yang pada akhirnya gagal dan persidangan pada pokok perkara
dilanjutkan, setelah melewati beberapa persidangan di PN Meulaboh dan 2 (dua)
kali sidang lapangan / Pemeriksaan Setempat (untuk mengetahui kondisi kebakaran
dan mengukur luasan kebakaran) maka telah dijadwalkan rencana pembacaan putusan
persidangan.
Selain
kasus kebakaran lahan di Rawa Tripa, terdapat beberapa kasus yang ditangani
oleh Kementerian Lingkungan Hidup yaitu Gugatan MENLH terhadap PT. Merbau
Pelalawan Lestari (PT.MPL) di Kab. Pelalawan – Riau, Gugatan MENLH terhadap PT.
Surya Panen Subur (PT.SPS) di Meulaboh – Aceh, dan Pengajuan Peninjauan Kembali
perkara gugatan MENLH terhadap PT. Selatnasik Indokwarsa di Bangka Belitung.
Faktor yang menyebabkan warga negara dapat
menggugat penjabat :
-
Penjabat bertindak sewenag-wenang dan
mengabaikan undang-undang.
-
Penjabat bertindak yang merugikan warga
negara.
-
1
http://id.wikipedia.org/wiki/sistem_hukum_di_dunia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar